Ramai di tiga grup WhatsApp membahas koran Sindo tamat riwayat. Intinya: menyayangkan. Di sebuah grup teman sekolah, bahkan Peter Kemranyas yang pernah mendapatkan gratis, lalu terpaksa berlangganan dengan diskon, pun menyayangkan.
Anggota lain, yang kebetulan pernah bekerja di media cetak, umumnya berkomentar semacam, “Yah, sudah kehendak zaman.”
Lalu warga lain, seperti setiap kali ada media cetak mati, senang bernostalgia. Tanpa koran dan majalah, dunia mereka pada masa belia akan sempit.
Kamso diam saja. Menyimak. Namun kali ini terpaksa berkomentar, karena Khaidir Alcatraz kembali mengulang lagu lama: “Mereka, para juragan media, milih bunuh diri. Gak gagah. Mrk mestinya nyari solusi bisnis spy bs tetap eksis.”
“Lho memang sampean pembaca setia koran & majalah yg mati, bahkan pelanggan berbayar? Setiap kali ada media tamat, termasuk yg online, selalu gitu komentarnya? Ini persoalan ekosistem, bukan cuma publisher tapi juga agen dan pengecer sama pelanggan. ”
Khaidir belum menjawab. Mungkin sudah tidur. Dia punya kebiasaan supper, supaya bisa tidur nyenyak.
Seorang anggota lain yang ceriwis menanggapi Kamso, “Kalo sebuah universitas bagus bangkrut, padahal kita bukan alumni, apa gak boleh menyayangkan?”
¬ Gambar praolah: Freepik, Picsart
4 Comments
Sebagai alumni eh pensiunan sebuah koran cetak yang punya banyak saudara koran cetak dalam sebuah grup, saya berharap koran tempat saya pernah bekerja, pun saudara-saudaranya, panjang usia, tidak segera mati.
Semoga. Tapi apakah pembaca masih mau beli koran, dan agen sanggup membayar loper?
Pembaca lebih memilih media yang gratis, dan berita-beritanya bukan peristiwa sehari sebelumnya….
Betul. Kadang cuma baca judul dan excerpt