Sudah lebih dari sekali saya menulis kerepotan membuang kaca: tiada yang sudi mengambilnya. Ahad lalu saya melihat kaca bekas jendela di Buperta Cibubur, Jaktim. Saya menduga, kaca bekas sulit dijadikan duit — entah kalau jumlahnya banyak atau berukuran besar, katakanlah 2 x 3 meter.
Kalau ukurannya kecil, si pengambil juga kerepotan untuk memotongnya. Kecuali dia punya alat potong seperti milik toko kaca dan tukang pigura.
Memang sih, di lokapasar ada sedia pemotong kaca. Tetapi tampaknya tak semua orang berminat. Saya juga tak berminat memilikinya.
Kerepotan lain dalam memanfaatkan kaca bekas adalah membersihkan kerak dan jamur. Harus memakai cairan pembersih akuarium dan kaca shower, atau pembersih kaca ala salon mobil, yang juga dijual di lokapasar.
Ada satu hal yang membuat saya heran: kenapa waktu saya kecil, ketika istilah pemulung belum dikenal, ada tukang nggolek beling? Ya, tukang pencari beling. Tetapi saya tak ingat yang mereka cari itu botol bekas yang masih utuh ataukah semua beling. Saat itu botol plastik belum jamak.
Sebenarnyaa, botol kaca dapat didaur ulang, ditumbuk lagi menjadi kaca baru, namun kualitasnya turun (¬ Greeneration). Kalau kaca jendela? Sebenarnya bisa didaur ulang sih.
https://twitter.com/mashable/status/1645115859193544704?t=AUuYLHTuBjIiSB4DbSXDQQ&s=19
2 Comments
eh iya ya, nyebutnya dulu tukang beling.
padahal beling itu pecahan kaca
Sekarang istilah itu sudah punah. Semua namanya pemulung 😇