Sebut saja “harga daging” dan “makan daging”. Hal yang langsung terbayang di benak umumnya orang adalah daging sapi. Kalau tanpa keterangan kerbau, kambing, dan ayam, bebek atau kalkun, berarti sapi. Media pun bisa terbawa cara awam, setidaknya dalam penjudulan. Lebih hemat kata.
Lalu? Laporan Kompas hari ini bagi saya menarik, pun penting. Inti cerita: impor daging sapi, selain sapi bakalan, itu menguntungkan, konsumen membayar mahal, melebihi kewajaran.
Halah, bukan isu baru, kata sebagian orang. Saya sepakat. Lalu saya teringat seorang kawan yang pernah menggarap media; dia menganggap laporan macam ini genit, disertai data, seolah komprehensif, tetapi tak dibaca banyak orang, bahkan para pengambil keputusan tak peduli.
Kenapa dia sebut genit? Media, bagi dia, bukannya menyajikan kabar yang masyarakat sukai tetapi media bikin agenda sendiri dengan laporan cantik keren tanpa kesan mendalam. Menurutnya, jurnalisme macam ini sok intelek, merasa seolah dapat mencerdaskan pembaca. “Media sok priayi,” katanya.
Walah, saya malah teringat koran Medan Prijaji (1907—1912) dari Tirto Adhi Soerjo (1880—1918). Nama prayi jelas elitis. Tetapi bukankah kelas menengah sering menugasi diri dalam perubahan? Tetapi baiklah, itu diskusi untuk lain waktu.
Hari ini saya membayangkan murid SMA ditugasi membuat esei tentang sisi bisnis daging sapi dan kerbau menjelang Lebaran. Murid yang kreatif takkan puas dengan ChatGPT. Dia mencari bahan lain juga. Lalu menulis dalam gaya dia.
Tetapi kata teman saya yang lain, itu bukan anak kreatif. Apalagi kalau dia tak dapat nilai bagus padahal sudah menempuh jalan pedang. Katanya, “Itu anak yang demen ngerepotin diri sendiri. Waktunya habis buat hal yang melebihi harapan guru.”
Dia asal menuduh guru. Tetapi dia tak menyebut media, dan jurnalisnya, yang mengikuti selera orang banyak itu kreatif dan cerdas — apalagi cendekia.
¬ Gambar Medan Prijaji: public domain via Wikimedia Commons