Akhirnya konsumen sigaret di Indonesia mengekor negeri lain yang sudah memulai hampir 30 tahun silam karena harga rokok terus memahal: tingwé. Tetapi mau rokok jadi yang siap isap maupun melinting sendiri, dari sisi kesehatan tetap tidak bagus.
Kata banyak pelaku tingwé kretek, apa yang terpaksa mereka lakukan itu memiliki kerepotan selain dalam melinting. Bukan cuma memilih tembakau racikan yang mengandung cengkih, dan gabus filter yang layak, serta kertas sigaret yang enak, tetapi juga tembakau dengan saus yang seperti rokok favorit. Sulit meniru formula pabrik. Tetapi mungkin bisa disebut itu salah sendiri. Kalau ingin berhemat jangan ngebul.
Lalu mereka menemukan pembenaran diri: tingwé adalah seni, sejak mencicipi aneka tembakau iris (TIS) sampai menghasilkan lintingan rapi dengan kepadatan sesuai selera — apapun alatnya, dari yang manual bersahaja sampai injektor selongsong elektrik.
Tingwé dianggap seni, pelakunya menghayati proses swakriya (do-it-yourself) setiap batang, sehingga mereka akan lebih takzim saat mengasap — lagi pula tingwé dan perniknya tak praktis untuk dibawa bepergian — maka konsumsinya semoga berkurang. Ketika rokok pabrik masih terjangkau, asal cabut-bakar-isap batang rokok, lalu menyampah dengan membuang puntung sembarangan, itu ringan ditempuh.
Untuk mereka yang berniat pol bikin sigaret sendiri dapat membeli mesin rokok mini di lokapasar Cina. Tetapi kalau hasil lintingan ini dijual bisa menjadi kasus hukum. Padahal kalau rokok diisap sendiri, kapasitas mesin akan menganggur. Kalau mesin disewakan apakah melanggar hukum? Atau menjual tembakau iris sekalian jasa melintingkan SKM apakah akan didatangi hamba wet?
Entah kenapa tembakau iris disingkat TIS. Belum jelas bagi saya, abreviasi “S” itu mewakili kata apa*. Kemenkeu menyebut TIS sebagai tembakau iris, dengan penjelasan, “hasil tembakau yang dibuat dari daun tembakau yang dirajang, untuk dipakai, tanpa mengindahkan bahan pengganti atau bahan pembantu yang digunakan” (Permenkeu No. 156/PMK.010/2018 Tahun 2018).
TIS termasuk objek cukai, Rp25-30 per gram. Cukai tembakau dimaksudkan untuk membatasi konsumsi atas nama kesehatan, sekalian menambah penerimaan negara. Manakah yang lebih dahulu tercapai, penerimaan negara ataukah jumlah budak nikotin berkurang?
Kontroversi rokok tak pernah usai. Nyatanya Indonesia masih mengimpor tembakau. Industri rokok luar juga menggarap pasar Indonesia, dengan jenama luar maupun lokal. Misalnya British American Tobacco, Philip Morris, Korea Tobacco & Ginseng, dan Japan Tobacco International. Sementara produsen lokal besar juga membuat rokok legal murah, kadang distribusinya di daerah tertentu, menemani flagships mereka.
Bahasan tentang hal itu, dengan data komplet, biarlah menjadi jatah media berita, bukan blog personal kontennya zig-zag.
*) Pemutakhiran 29/3/2023: Dari situs Taru Martani saya baru tahu bahwa “S” dalam TIS adalah saus
¬ Bukan posting berbayar maupun titipan dari kubu protembakau ataupun antitembakau, maupun industri rokok dan perlengkapan tingwé serta pemerintah