Kalau motor disebut kasta bawah, itu terlalu. Lalu sepeda kasta apa dong? Tapi penista motor bisa disebut satu kasta dengan korban.
↻ Lama baca < 1 menit ↬

Sepeda motor sebagai tempat sampah

Saya tak tega terhadap sepeda motor ini, padahal bukan milik saya. Sudah dijadikan tempat duduk sambil ngobrol, masih dipakai menaruh gelas air kemasan pula. Saya tahu setelah mendekat dan reriungan itu bubar.

Apa karena korbannya motor yang terawat? Bukan itu yang membuat saya tak tega. Terhadap motor butut pun saya tak tega.

Selama ini kita menganggap hal macam itu biasa. Saya pernah mengalaminya, lebih buruk. Karena sasa tempat parkir habis, Vespa saya parkir bukan di depan kantor. Celakanya saya sering memilih sudut yang bebas dari tempias namun mudah diakses. Maka motor dengan standar tengah tegak itu nyaman untuk duduk.

Jejak lumpur boots di pada mesin dan roda, sisa tali rafia dan abu rokok pada dek kaki, remasan bungkus rokok pada ceruk as kaca spion, dan paling parah helm beberapa kali hilang — talinya dipotong.

Teman saya lebih tabah. Setelah puas mengumpat tanpa terdengar pelaku, karena pelaku sudah lenyap, dia selalu bilang, “Ya beginilah nasib motor, kasta bawah. Pelakunya juga dari kasta yang sama, atau malah mungkin belum punya motor.”

Pada awal 1990-an tak semua orang bisa beli motor karena fasilitas kredit bisa lebih mudah setelah akhir 1990-an. Motor saya mulus, hanya saya pakai pergi dan pulang kerja, bolak-balik lima kilometer.

Kembali ke soal kasta, saya tak sepakat. Ini soal adab. Hari ini pun kita bisa menyaksikan orang asyik ngobrol, duduk di atas motor terparkir, lalu ketika pemilik datang si “penduduk” cuma tersenyum, lalu meneruskan obrolan.

Kalau pemilik motor adalah cewek, ada risiko diganggu. Tergantung tempat dan lingkungan sih.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *