Seputar duit kès keras

Duit tunai adalah raja, gambarnya sih bisa ratu. Penjahat juga suka cash. Maka perampokan ATM masih terjadi. Koruptor pun doyan kontan.

▒ Lama baca 2 menit

Uang tunai dalam dompet tinggal Rp5.000

Di Medan, Sumut, seorang pemilik mobil rental tiga tahun silam menolak pembayaran melalui transfer bank. Untuk membuat invoice sewa mobil seminggu pun dia ogah. Akibatnya pembayaran pun tertunda karena birokrasi di kantor sebuah badan PBB di Jakarta harus menyesuaikan diri, termasuk menunggu surat tagihan dari Medan.

“Tak usahlah pakai vois vois itu. Kalau bayar harus kès keras. Uangnya nyata, bisa dipegang,” kata Abang Rental.

Kès. Cash. Tunai. Kontan. Nyata. Keras pula, seperti dokumen kertas: hard copy. Dapat dilihat, diraba, dan diterawang.

Cash is the king. Kuno? Di hutan belantara tanpa manusia pemukim, uang tunai juga tiada guna. Kalau di Pulau Karimunjawa, Jepara, Jateng, jelas ada penduduk dan ATM. Tetapi ketika cuaca buruk, sehingga bank dari daratan tak dapat mengisi ATM, serombongan mahasiswa geografi dari Jogja yang sedang meneliti di sana menjadi termiskin di pulau kecil. Mereka tak punya uang untuk membeli makan dan membayar penginapan.

Cash atau kontan mengilhami nama media, termasuk di Indonesia

Cash. Itu nama sebuah surat kabar ekonomi dan bisnis di Swiss. Uang dan Swiss memang amat berkelindan. Ketika Jakob Oetama dan anak-anak Tempo diaspora pascabredel 1994 mendirikan tabloid Kontan (1996), kalangan media dan biro iklan menyebut produk itu merujuk Cash.

Saya teringat soal duit tunai ketika membuka dompet. Isinya tinggal selembar. Menjelang sampai setelah Lebaran tahun ini mestinya penarikan uang tunai akan naik seperti tahun lalu (¬ Katadata). Merujuk Bank Indonesia, penarikan uang tunai selama periode Ramadan dan libur Lebaran 2022 mencapai Rp180,2 triliun. Nilai tersebut meningkat 16,6 persen dibandingkan periode sama tahun 2021, Rp154,5 triliun.


Ingat uang tunai saya juga teringat kejahatan klasik. Seperti dalam film mafia, juga penggeropyokan adu ayam dan judi dadu, duit tunai adalah raja. Saya tak tahu apakah duit tunai dalam valuta asing milik Rafael Alun Trisambodo, senilai Rp37 miliar (baru sebagian, kata Menkopolhukam Mahfud MD), dalam sekian safe deposit boxes di bank itu hasil jinayah.

Tanpa menjadi pejabat Ditjen Pajak Kemenkeu pun setiap orang tahu bahwa menyimpan uang dalam rekening bank itu lebih aman, kalau jumlahnya gede, bukan di bawah Rp50 juta, pasti dapat bunga; tak seperti rakyat biasa yang sebelum terima bayaran pada akhir bulan saldonya tinggal Rp123.456.

Uang tunai adalah favorit penjahat, termasuk koruptor

Penjahat juga suka duit tunai. Kelas eceran bernama copet dan pemiara tuyul. Kelas di atasnya bernama perampok, menyasar nasabah bank yang terpaksa butuh tunai, atau akan menyetorkan uang. Ada juga varian perampok minimarket dan ATM, setidaknya merampok petugas pengisi uang, seperti yang terbaru, di Pekanbaru, Riau (¬ Riau Pos), melibatkan dua personel TNI. Saya katakan personel, artinya bukan korps, tak perlu kata “oknum”.

Hanya perampok toko emas yang tak menyasar uang, tetapi perhiasan takkan mereka pakai, harus diuangkan. Mudah membaginya dan memanfaatkannya setelah “meledak” — istilah usang penjahat untuk keberhasilan.

Tinggalkan Balasan