Kesan Kamso, Eyang Parjo itu lekat dengan spiritualitas dan religi. Eyang jarang menggunjingkan apalagi menghakimi orang. Tapi tumben kali ini Eyang heran, “Sejak kapan ya Kam, murid mau ujian sekolah ada doa bersama? Ya di rumah ibadah, ya di sekolah, melibatkan orangtua pula, pakai sungkeman segala….”
“Ngapunten, Eyang. Saya ndak ingat persis. Mungkin sekitar sepuluh tahun terakhir. Tapi bagus to, segala sesuatu diawali dengan doa?” sahut Kamso.
Eyang tersenyum, lalu manggut-manggut.
“Nuwun sèwu, maksud Eyang kenapa mesti pakai ritual kolektif? Maksud saya doa itu mestinya sepanjang belajar, nggak cuma pas ujian….”
Eyang tersenyum lagi. Lalu, “Mungkin ujian untuk tamat SD, SMP, dan SMA makin berat ya, Kam?”
“Saya ndak tahu. Anak-anak saya sudah lama lulus SMA, Eyang. Dulu seingat saya ndak ada ritual doa ujian.”
Eyang ngglêgês. Lalu menyeruput wedang jahe sereh.
“Kamu dulu waktu mau ujian SMP, SMA, lalu ujian semester, kan ada minggu tenang, Kam. Kamu pakai buat apa waktu sepekan?”
“Waktu SMP saya pakai untuk pit-pitan ke pinggir kota, malah ke luar kota sendirian, ndak nginep, tanpa izin bapak ibu,” jawab Kamso sambil nyengir.
“Waktu SMA, Kam?”
“Buat pacaran, Eyang. Tapi pamitnya mau belajar bersama.”
“Waktu kuliah?”
“Kalo ndak main ke desa, nginep beberapa hari, bantu kulakan ke pasar, jaga warung punya orangtuanya teman. Saban sore ngelapi semprong lampu teplok dan petromaks. Kalo di rumah ya bikin prakarya, dari kap lampu sampai rak sepatu, itu yang saya ingat. Eh, juga pacaran ding.”
“Selama ujian kamu nyontek, Kam?”
“Mboten, Eyang.”
“Dalam doa bersama sekarang itu ada permintaan agar anak-anak selalu jujur, Kam?”
¬ Gambar praolah: Unsplash