“Kalau gagal, kita punya harapan apa?” kata Mendikbud Nadiem Makarim dalam perayaan ultah keenam Kompas.id, bukan Kompas.com. Nadiem berharap besar pada media berita berbayar agar sebagai entitas bisnis selalu sehat sehingga dapat menjaga kualitas produk.
Produksi KG yang berultah itu adalah media berita berbayar pertama di Indonesia, milik PT Kompas Media Nusantara, lahir menyusul Kompas.com yang gratis, dari PT Kompas Cyber Media, yang hadir 19 tahun lebih dahulu, Juli 1998, sebulan setelah Detik.com muncul, Juni 1998.
Bagi publik, gaya Kompas.id dan Kompas.com itu berbeda. Yang dot id masih berwarna koran Kompas. Lantas muncul guyon penangkis, meski dari gaya jurnalistik berbeda, pendapatan iklan Kompas.com dan Tribun Network (dulu: Pers Daerah KG) itu menebalkan dompet Palmerah.
Dalam edisi yang sama, mengabarkan ultah, namun dalam berita berbeda, Kompas.id menyajikan infografik tingkat kepercayaan masyarakat terhadap media arus utama serta alasan publik melanggani media berbayar di Amerika Serikat dan Inggris.
Bagaimana nasib koran cetak hari ini? Dalam laman Tentang Kami yang saya tengok pagi ini, di situs Serikat Perusahaan Pers (dulu: Penerbit Suratkabar), tersebutkan data sepuluh tahun silam:
Hingga Desember 2014, SPS memiliki 471 anggota yang tersebar di 30 cabang seluruh Indonesia. Kontribusi anggota SPS terhadap advertising expenditure seluruh media cetak tahun 2014 yang sebesar Rp 36,164 triliun (on gross), diperkirakan mencapai Rp 31,1 triliun. Ditilik dari penetrasi pasar per Desember 2013, dari tiras beredar seluruh media cetak yang mencapai 22,3 juta eksemplar, anggota SPS menyumbang sebesar 19 juta eksemplar.
Dahlan Iskan, baron koran yang pernah memimpin SPS, menyatakan dalam pembuka sebuah tulisan: “Saya tidak bisa marah. Apalagi menolaknya: hasil penelitian itu. Bahwa kepercayaan masyarakat kepada koran ternyata tidak lebih tinggi dibanding kepada medsos.” (¬ Disway).
Hal baik bagi Dahlan yang selalu menulis secara stakato: “… 30 persen masyarakat tidak percaya pada media. Apa saja. Berarti masyarakat sudah lebih independen.”
Hal buruk? “… kepercayaan pada media online meningkat. Kepercayaan pada surat kabar menurun.” Lalu dia kunci: “Itu kabar buruk bagi saya saja. Bukan bagi Anda.”
Urusan koran itu rumit. Bukan hanya karena berita hari ini adalah kejadian kemarin, tetapi juga urusan kertas koran, gudang, hingga distribusi. Untuk urusan kertas koran, pun kertas majalah, terutama impor, itulah SPS hadir. Pada masa kian sulit tersebab Covid-19, SPS dapat membujuk pemerintah untuk membebaskan pajak pertambahan nilai (¬ Siaran Pers, 2020).
Kertas merupakan 30—40 persen komponen biaya penerbit media cetak. Perusahaan yang mau bikin koran, tabloid, dan majalah harus menghitung kebutuhan kertas sampai setahun — kecuali punya kas tebal untuk membeli di pasar bebas kapanpun.
Soal lain, untuk media cetak, publik bersedia membayar. Tetapi untuk media daring, orang lebih suka gratis. Soal kesehatan media dan pekerjanya silakan dipikir sendiri.
Saya pernah membuat infografik dan menulis artikel tentang nasib media cetak pada 2020. Pajak dan subsidi menjadi isu di pelbagai negeri.
Kini setelah arah media makin ke layar ponsel, komponen biaya produksinya pun berbeda. Sisi bagusnya, dalam media daring tak berlaku klaim tiras yang akan dikorting oleh biro iklan seperti pada media cetak kecuali angkanya diakui oleh Audit Bureau of Circulations (ABC).
Lalu? Mari kembali ke Kompas.id. Untuk cetak, mereka menyatakan diri “200K+eksemplar, 20K+ subscriber, 600K+ readership”. Untuk capaian digital, sila lihat versi Similarweb.
Lalu berapa sebenarnya jumlah media berita cetak dan daring yang terdaftar di Dewan Pers (DP)? Dari perkiraan 40.000 media berita di Indonesia, baru 1.700 media yang terdata di DP.
Kata Ketua DP Ninik Rahayu, “Setiap orang dapat mendirikan perusahaan pers dan menjalankan tugas jurnalistik tanpa harus mendaftar ke lembaga mana pun, termasuk ke Dewan Pers.”
Menurutnya, pendataan — bukan verifikasi — perusahaan pers untuk mewujudkan perusahan pers yang kredibel, profesional, sehat, mandiri, dan independen.
“Perusahaan pers yang tidak bekerja secara profesional, antara lain ditandai dengan tidak memenuhi kewajiban untuk kesejahteraan wartawan, tidak memberikan penghasilan yang layak, atau malah memerintahkan wartawan mencari tambahan penghasilan/iklan,” ujar Ninik (¬ Tempo.co).
¬ Gambar praolah ilustrasi utama: Freepik
2 Comments
Tersedia media berita daring gratis, dan banyak pilihan, saja orang-orang malas membaca, dan lebih senang membaca media sosial.
BTW, saya mengira media berita berbayar pertama adalah Tempo.co (atau dahulu Tempo.com?), ternyata Kompas.id to.
Akhirnya yang disebut mainstream itu medsos.
Celakanya ada saja media yang mengamplifikasi konten medsos mentah-mentah.