Sore tadi, setelah gerimis sebagai ekor hujan sejak pagi selesai, saya ke luar rumah, mau ke warung, melihat buah pacé alias mengkudu (Morinda citrifolia). Kesan saya sih tak ada orang peduli. Lagi pula hanya sebuah, buat apa?
Saya teringat masa kecil, semasa SD, di Salatiga. Setiap kali berangkat dan pulang sekolah melalui kampung Margosari selalu melewati ruas gang tanah yang tertebari pacé jatuh. Ada saja yang sudah mblenyèk, berbusa. Sungguh buah yang tidak mengundang selera.
Dahulu saya belum tahu bahwa pacé berkhasiat. Orang-orang dewasa tampaknya juga tak peduli. Setelah saya dewasa, akhir tahun 1990-an saya baru tahu bahwa javanony, berupa ekstrak, bagus untuk memperlancar aliran darah sehingga cocok untuk orang berhipertensi.
Pada dasawarsa yang sama, sebelum saya tahu khasiatnya, sejawat saya, orang Magelang, sering meledek sejawat lain, putri Bojonegoro, sebagai penggemar jus pacé. Langsung benak saya membayangkan buah mblenyèk berbuih.
Lalu buah pacé di jalan itu dari mana asalnya? Setahu saya di jalan itu tak ada pohon mengkudu. Entahlah dari mana datangnya.
@meimeimecin #japmei #meimeimecin ♬ Disney Song – LFanik
4 Comments
iklan yang terngiang soal esktrak buah, adalah (kulit) buah manggis .
keman tuh produk sekarang ya? :D
Masih ada 😇
Di Solo ada istilah dipace, yang artinya ditipu (bukan dalam perkara pidana penipuan tapi semacam dikerjai). Saya tidak tahu apa hubungannya dengan buah pace.
Di Semarang ada didoboli, dikoya. Kalo di Jatim ada dibujuki. Di Banyumas kalo gak salah dilomboni.
Ada pula dikadalin 😁