Saya menyadari bungkus asam jawa itu dari Madura itu justru di Pantai Natsepa, Maluku Tengah, Pulau Ambon, sekira sebelas tahun silam, saat mengudap rujak.
Kemarin, ketika saya ke warung membeli asam, Bu Warung menanya, “Asam jawa kan, Pak?”
Saya pun mengiakan. Membeli lima kemasan @ Rp1.000. Lalu dalam perjalanan saya amati tulisan pada bungkus asam. Betul, ada tulisan Madura.
Ada tulisan lain yakni Bekasi, Jawa Barat. Artinya pengusaha di Kobek melakukan pengemasan ulang dengan menambahkan jenama pada bungkus plastik.
Meskipun ada tulisan halal, tak tertera logo sertifikasi dari MUI maupun pemerintah. Artinya si pengusaha hakulyakin kehalalan produknya dan dia jujur, tak mengurus sertifikasi sehingga tak perlu memasang logo halal.
Lalu pohon asam jawa (Tamarindus indica) itu dahulu dari mana? Bukan tanaman endemik Nusantara, tumbuhan itu dari Afrika. Kata “jawa” bisa berarti sebutan untuk Tanah Melayu, pun bangsa, bahasa, dan kebudayaan Melayu. Kadang disebut “jawi”.
Lalu kenapa di pasar disebut asam Madura eh asam madura? Saya tidak tahu. Menurut data Ditjen Perkebunan Kementanยน, dari 3.025 ton produksi nasional asam Jawa pada 2020, yang terbesar (73,8 persen), dari Bali, NTB, dan NTT: 2.232 ton. Adapun Jatim, yang memiliki Pulau Madura, hanya menghasilkan 645 ton (21,3 persen).
Hampir semua asam jawa, oh asam madura, dalam kemasan ini menggunakan label kuning bertuliskan merah. Kurang kontras dengan isinya yang berwarna cokelat tua kehitaman. Bandingkanlah dengan yang berlabel putih: lebih terbaca.
ยน) Buku Statistik Perkebunan Non Unggulan Nasional 2020-2022 (Desember, 2021)
2 Comments
Ahahaha haqqul yakin halal ๐ ๐
Lha kan soal keyakinan, lagi pula umumnya buah kan gak nyampur unsur hewani ๐๐