Mungkin, bagi sebagian orang, berita banjir dan tanah longsor yang jauh dari rumah hanya kabar biasa, sepanjang tak ada sanak saudara dan teman yang menjadi korban. Sekali lagi: mungkin. Dan semoga dugaan saya salah. Buktinya pos bantuan di mana pun mendapatkan sumbangan dari warga, kan?
Banjir dan tanah longsor yang saya maksudkan tadi dalam batasan di luar masalah besar cuaca dan geofisika. Dalam pengertian saya, kejadian tersebut menimpa wilayah yang tak pernah mengalami, atau kalaupun pernah sudah sepuluh tahun lebih berselang. Saya belum tahu bagaimana riwayat banjir di Surakarta dan sekitarnya di Jateng.
Jika menyangkut perubahan lingkungan, antara lain pertumbuhan pemukiman dan kawasan industri, pun lahan pertanian, rasanya sudah menjadi berita menjemukan. Seperti kata Led Zeppelin: the song remains the same. Memang sih lagu itu tak membahas banjir.
Lalu? Abad lalu ketika saya kelas tiga SD, perubahan lingkungan yang menyebabkan banjir dan tanah longsor sudah dibahas dalam buku pelajaran bahasa Indonesia, lalu menjadi soal ulangan hingga kelas enam SD untuk mata pelajaran lain. Artinya hal itu bukan pengetahuan baru.
Siapa pun presiden, menteri, gubernur, wali kota, bupati, dan anggota DPR, DPD, maupun DPRD pasti tahu. Mereka tamat SD. Ada yang akhirnya menjadi doktor — tetapi bukan mondok di kantor.
@gendulbotolBanjir di Solo menurut ChatGPT
Taruh kata ada presiden dan kepala daerah yang genah, menjabat dua periode pun saya rasa tak dapat mengatasi tuntas masalah banjir dan longsor. Bukan berarti saya berharap jabatan boleh lebih dari dua periode, apalagi satu periode sampai sembilan tahun.
Itu tadi kalau rakyat memilih pemimpin yang genah, apalagi kalau yang nggak bener, pasti lebih runyam. Saya belum pernah membaca ringkasan janji soal lingkungan dalam kampanye para kandidat pemimpin di Indonesia dalam lima belas tahun terakhir.
Kalau ada yang tak memasukkan soal itu dalam kampanye berarti mereka cerdik. Nggak pernah janji kok ditagih. Sama saja tidak berutang kok diminta melunasi.
¬ Foto dan infografik: Kompas.id
5 Comments
Nambah komentar, ya, Paman.
https://www.krjogja.com/berita-lokal/read/494233/banyaknya-bangunan-liar-di-bantaran-sungai-diduga-jadi-penyebab-banjir-solo
https://www.detik.com/jateng/berita/d-6575211/bengawan-solo-meluap-ribuan-warga-ngungsi-gibran-tuding-bbws-tak-koordinasi
Lhaaaa
Pasti ada yang tidak beres (selain faktor hujan deras dan lama) sehingga banjir melanda sebagian Kota Solo pada Kamis (16/02/2023) lalu itu, tapi saya belum tahu ketidakberesannya.
Tidak beres, karena sebagian kampung yang banjir itu bukan langganan banjir, setidaknya dalam beberapa tahun terakhir. Joyotakan, seperti dalam foto Kompas di atas, dahulu kala memang sering banjir tapi kemudian jarang. Kalaupun banjir, tidak separah dan semeluas banjir terakhir.
Atau Kelurahan Jagalan. Dahulu kala memang daerah banjir sehingga sanggar seni Wiji Thukul di Kampung Kalangan, Jagalan, kala itu diberi nama Thukul “Sanggar Suka Banjir”. Tetapi sudah bertahun-tahun Jagalan bebas banjir, sampai kemudian Kamis lalu itu termasuk daerah parah banjirnya.
Rumah besan saya di Sangkrah memang dekat sungai besar. Tapi seingat saya sejak beliau jadi besan saya sejak sekitar delapan tahun silam, baru pekan lalu rumahnya kebanjiran sehingga harus mengungsi ke rumah anak saya (menantunya) di Sangkrah juga tapi kampung lain.
Nah itu.
Ndhèrèk prihatos, Lik Jun🙏
🙏