Duit palsu: Kita pajang, buang, atau belanjakan?

Para pemalsu uang itu superjahat karena menjadikan kita, yang tertipu upal, sebagai pengedar. Padahal kita juga korban.

▒ Lama baca < 1 menit

Duit palsu: Kita pajang, buang, atau belanjakan?

Saya langsung menebak bahwa uang yang diselotip pada meja kasir warung Padang itu duit kertas palsu. Bukan karena saya dapat mengidentifikasi cepat tetapi tak mungkin duit asli, yang masih laku, ditempelkan di sana.

Uang palsu (upal) ini masalah yang merepotkan. Dalam lingkup kita, sungguh merugikan jika uang di tangan kita ternyata upal namun baru kita ketahui saat penjual menolaknya. Kadang timbul perasaan seakan kita dituduh mengedarkan upal.

Duit palsu: Kita pajang, buang, atau belanjakan?

Pernah suatu kali, hampir dua puluh tahun silam, seorang ibu pemilik warung dekat saya, dengan berhati-hati mengeluhkan tukang-tukang yang membangun rumah saya sehari sebelumnya membeli rokok dengan upal.

Saya meminta maaf dan menyesalkan hal itu namun tak dapat bertanggung jawab karena saya menyetorkan uang kepada pemborong melalui transfer bank. Sang pemborong, ketika saya tanya, menjelaskan bahwa uangnya dia tarik dari bank.

Oh, bank? Saya pada awal reformasi dan setelah krisis moneter, pernah mengalami, salah selembar atau dua lembar uang yang saya tarik dari ATM ditolak oleh kasir rumah makan. Karena bingung, saya pun berlaku jahat. Saya pakai upal tertolak tersebut untuk memborong tabloid dan majalah di Terminal Kampung Melayu, Jaktim.

Saya curang, tak mau rugi karena tak merasa bersalah, padahal duit sedang sulit didapat, lalu saya memperpanjang mata rantai peredaran upal. Bukan tindakan terpuji, karena saya meneruskan kesialan kepada orang lain. Maafkanlah saya. Saya saat itu tak membayangkan bagaimana jika upal dari saya dipakai untuk membayar sekolah anak atau menebus obat.

Untunglah transaksi saya kini lebih banyak nirtunai eh nontunai. Membayar tunai, dengan upal, itu melanggar hukum, kita bisa dimasukkan terungku.

Duit palsu: Kita pajang, buang, atau belanjakan?

Awal reformasi diwarnai munculnya laskar perang dan konflik horizontal. Upal menjadi isu panas. Secara fisik sukar dibedakan dari uang asli namun nomor serinya, konon, tak diakui Bank Indonesia.

Pemilu pada awal reformasi juga diwarnai isu upal. Ada saja cerita tentang pekerja ekonomi kreatif menerima bayaran konten kampanye secara tunai dalam tas keresek. Bahkan ada yang disertai pesan dari pihak pembayar, “Segera dibelanjain ya.”

¬ UU No. 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang

4 Comments

Paman Junior Rabu 15 Februari 2023 ~ 10.39 Reply

Untuk komen butuh 2-3 kali, apakah ini sejenis protokol pengamanan berlapis, Paman? :D

Pemilik Blog Rabu 15 Februari 2023 ~ 10.56 Reply

Maaf, saya terpaksa pakai ReCaptcha karena tanpa itu dalam sehari bisa 50 spams masuk. Memang tidak nyaman bagi pembaca. Sekali lagi mohon maaf 🙏✅

Jurus Mabok Rabu 15 Februari 2023 ~ 15.03 Reply

Tapi sepertinya ini lebih ke ‘error’, Paman. Karena reCAPTCHA-nya ndak selalu muncul. :D

Tinggalkan Balasan