Tentang layar untuk latar belakang foto wisuda, yang diijual di lokapasar, ada tiga hal menarik. Pertama: apakah studio foto masih memerlukannya, karena foto rak buku dan foto orang bisa digabung dalam proses digital imaging?
Kedua: kenapa buku dalam backdrop umumnya hard cover, serial, mirip ensiklopedia? Ketiga: Apakah si sarjana, apapun stratanya, selama kuliah juga banyak membaca buku, apalagi saat menulis skripsi, tesis, dan disertasi?
Saya tak dapat menjawab ketika seseorang menanya, “Kalo di luar negeri, undangan kawinan juga mencantumkan gelar akademis?” Saya belum pernah menerima undangan pernikahan di luar negeri, via email maupun WhatsApp, hanya menerima pemberitahuan.
Adapun foto wisuda orang Indonesia maupun orang sana yang pernah saya terima adalah foto di luar gedung kampus, bukan di studio, termasuk foto sekelompok wisudawan melemparkan topi pelengkap toga ke udara.
Kesan saya, masyarakat Indonesia sangat memuliakan gelar akademis. Tak soal sih, kalau memang ijazahnya asli berarti berhak menyandangnya. Kalau punya ijazah palsu, artinya gelarnya juga palsu, itu tak tahu malu, apalagi jika gelar itu dipakai untuk berkarier.
Soal gelar ini saya tulis setelah subuh tadi membaca investigasi koran Kompas tentang praktik perjokian karya ilmiah dalam pendidikan, hingga doktor, bahkan untuk menulis dalam jurnal. Saya tak akan mengulang isinya, silakan baca sendiri. Lebih mengasyikkan bagi saya untuk bicara hal lain dengan tambahan ilustrasi.
Apakah gelar akademis harus dipasang? Dalam dunia akademis sudah pasti, karena menyangkut otoritas.
Di luar bidang akademis? Boleh dong. Tetapi bisa juga orang yang bersangkutan tak memasang gelar, hanya saja pemandu acara, terutama di kalangan birokrasi, atas nama protokoler harus menyebutkan lengkap.
Baiklah, tak ada yang salah dengan memuliakan gelar. Bahwa guru dan dosen yang memasang gelar di luar urusan akademis belum tentu mencintai buku, apalagi di luar bidangnya, biarlah mereka yang menjelaskan.
Ada hal yang lebih utama jika merujuk berita Kompas: apakah semua capaian akademis sejumlah orang ditempuh dengan cara yang beretika dan bermoral?
Menghalalkan segala cara dalam dunia pendidikan bukanlah laku nan luhur. Ini soal integritas.
Saya teringat seorang dosen sebuah PTS, yang pernah menjadi guru SMP dan kepala SMA. Dia tak mau mengawasi ujian mahasiswa fakultas keguruan dan fakultas teologi, karena menurutnya sebagai calon guru dan calon pendeta mereka pasti tak sudi menyontek.
Saya juga teringat sebuah SMA putri di Jakarta yang mengharuskan orangtua murid menandatangani surat berisi kesediaan jika anaknya dikeluarkan apabila terbukti menyontek, melakukan plagiarisme, dan membawa mobil ke sekolah padahal parkirnya di pelataran kantor sebelah.
Baiklah, orang bisa berkilah dengan menyalahkan sistem, karena konduite dan karier, yang berarti imbalan, itu mahapenting. Tetapi tak adakah pertahanan diri terakhir, yaitu diri sendiri dan lingkungannya? Yah, urusannya serupa lingkungan kerja koruptif: orang yang tak ikut akan dimusuhi, bahkan kariernya terganjal.
Saya merenung mengapa akhlak sering diserukan dalam khotbah, kadang bukan sebagai peringatan tetapi seperti rasa syukur, “Karena kita bangsa yang religius, menjunjung akhlak, berbudaya, punya adab.”
Ini kan dr dulu.. 😛
Dosen senior dpt grand, dipecah dikerjain jd skripsi2 dan thesis mahasiswa2 berbiaya murah. Lalu dikompilasi sama buruh mahasiswa lain jd jurnal dan laporan oenelitian.. si dosen senior nitip nama pertama author. https://t.co/qnZJL6Qvr4
— Leksa (@leksa) February 10, 2023
6 Comments
Hanya satu kata : ngeri.
BTW kata terakhir dalam konten ini, mungkin lebih cocok huruf d-nya diganti b….
Kalo diganti “b” jadi mambu alias bau
Waduh serem banget perjokian inih 🙊. Semakin suram aja ini dunia pendidikan kita.
Soal besarnya adalah realitas masyarakat memengaruhi dunia pendidikan ataukah mestinya dunia pendidikan mewarnai masyarakat?
Tentu saya ingin yang kedua.