Pacar atau bahkan istri gelap sonder KUA belum tentu simpanan ataun piaraan. Bisa saja hubungannya setara.
↻ Lama baca < 1 menit ↬

Kompol D, Nur, dan mobil Audi 6

Lagi-lagi sebagai sopir, Kamso saat menjemput Kamsi, istrinya, dari rapat kegiatan sosial, banyak diam, cuma mendengarkan. Bersama mereka ada Jeng Tuning Tuner Megahertz. Satu kilometer menjelang rumah Tuning, topik kedua ibu itu adalah Kompol D.

Akhirnya Kamso dilibatkan. “Oom Kam, gaji kompol berapa sih?” tanya Tuning.

“Kata berita sih kalo ditambah tunjangan bisa dapet Rp9,5 juta sebulan,” jawab Kamso.

“Kok bisa beliin Audi 6 buat ceweknya, eh istri muda atau pacar sih?” timpal Kamsi.

“Nggak tau. Audi baru atau bekas? Yang bekas, 2014, boleh Rp250 jutaan, DP Rp80 juta, tenor empat tahun, cicilan sebulan Rp5,5 juta. Kalo yang baru Rp1,2 M.”

Duduk di bangku belakang, Kamsi mendengarkan Tuning membahas Kompol D. “Enak ya, dapet mobil, sopir, biaya servis bengkel, pajak mobil dibayarin lakinya,” kata Tuning.

Kamsi menyahut, “Belum tentu lho. Bisa aja ceweknya bayar sendiri.”

Lantas Tuning membelokkan masalah, “Kenapa ya, laki-laki kalo punya duit lalu punya pacar, istri muda? Maksudku kecenderungannya gitu. Bisa-bisa entar kalo abangnya nggak ada duit, nggak disayang tapi ditendang!”

“Gitu ya, Mas?” tanya Kamsi kepada suaminya.

“Nggak juga. Misalnya ada pacar juga belum tentu jahat, loba dan tamak. Saat Abang jaya, jelas disayang. Saat Abang terpuruk secara finansial, malah dibantu, soalnya posisi setara, nggak ada konsep piaraan atau simpanan,” jawab Kamso saat mengantre lampu merah.

“Tuh Tante! Bahaya!” Tuning menyergah.

“Biarin aja. Oom udah tua, nggak ada yang mau. Kalo ada yang mau, aku sekalian serah terima, ‘Bawa aja deh, tolong Anda urusin dia’,” jawab Kamsi.

Kertas polisi untuk bungkus tempe

4 thoughts on “Kompol D, Audi, dan tabiat lelaki

  1. Selamat pagi Paman, semoga sehat selalu 🙏
    Abad lalu, saat saya bekerja di traffic consultant, salah satu kegiatan saya adalah melakukan survei.
    Survei yang dilakukan antara lain survei rumah tangga, untuk mendapatkan gambaran keadaan sosial ekonomi di kota tersebut.
    Pada saat survey, yang diperhatikan oleh surveyor tentunya keadaan rumah – apakah lantainya dari ubin, keramik atau lainnya, bertingkat atau tidak dan lain lain.
    Salah satu yang pertanyaan dalam kuosioner adalah kisaran pendapatan.
    Mentor saya saat itu memberi kiat “Kalau responden ternyata pegawai negeri atau ABRI (pada saat itu termasuk POLRI), sudahi saja surveinya, karena jawaban atas kuosioner kisaran pendapatan tidak akan cocok dengan keadaan rumah”.
    Suuzan ya Paman?
    Tapi itu kan abad lalu Paman, entah kalau sekarang, karena saya sudah tidak bekerja di konsultan itu lagi, jadi tidak pernah melakukan survei lagi…

    1. Saya terpingkal-pingkal baca ini. Skeptisisme memang perlu. Saya juga pernah saat ikut penelitian maupun saat liputan. Kondisi rumah dan isi responden maupun narasumber kadang tak cocok dengan asumsi pangkat dah jabatan di mata publik 🙈

      Tapi saya pernah ketemu seorang menteri era lama, hidupnya biasa saja. Dia politikus jujur, istrinya seorang PNS yang peneliti. Ketika di DPR, Mr X itu bersih dari uang aneh-aneh.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *