Ketika saya ke bengkel itu lagi, majalah-majalah lawas masih ada. Tertata rapi. Sebagian adalah majalah hanya hidup. Misalnya Prestige edisi Indonesia dan Indonesia Tatler. Ada yang terbitan 2014, hampir sepuluh tahun silam.
Adakah pelanggan yang membacanya? Saya duga tidak. Ponsel adalah obat bete selama menunggu apa pun. Arsip beberapa majalah ternyata masih ada yang dijual di situsnya, misalnya DaMan, dan ada yang tersedia versi PDF-nya, misalnya Time Place milik Irwan Mussry — dia pemimpin redaksi sekaligus pemimpin umum.
Ada yang menarik dalam majalah mewah lawas itu: kartu pos berlangganan. Ini memang gaya lama dalam penerbitan, juga di luar negeri, bahkan ketika delapan tahun lalu internet dengan aneka transaksi cukup dilakukan via ponsel.
Pada masa jayanya, majalah khusus tentang gaya hidup urban adalah ladang pekerjaan bagi penulis, editor, fotografer, pengarah gaya, dan desainer grafis. Beberapa penerbitan terbatas, yakni in-house magazines, dikerjakan oleh biro-biro independen.
Jika menyangkut gaya hidup kalangan atas, media yang dimiliki oleh kalangan atas juga itu punya kesamaan gaya dalam menampilkan album pesta. Hanya ada wajah dan nama. Tak perlu keterangan itu siapa. Kalau pembaca tak paham berarti memang kurang gaul karena memang bukan bagian dari lingkaran luar sosialita. Majalah Dewi dahulu juga begitu.
Majalah-majalah macam itu mensyaratkan peliputnya paham peta sosialita. Tanpa bekal, apalagi tak kenal, mereka akan salah membuat kapsi foto. Dahulu kala pengusaha Sudwikatmono menerbitkan majalah gaul kalangan atas. Semua kapsi cermat, menyebut nama para diplomat asing sampai kaum berpunya dalam pesta secara lengkap.
Kini konglomerat yang masih menerbitkan majalah gaya hidup atas antara lain Hary Tanoesoedibjo, dengan majalah High End yang menyebut diri “Your Guide to First-Class Lifestyle”. Kalau almarhum Adiguna Sutowo dan Dian Mulyadi, serta Soetikno Soedarjo, sebagai OKL, orang kaya lama, memang pemain lama di media.
Kini setelah media sosial menggantikan media gaya lama, lalu majalah gaya hidup masih ada, bermanfaatkah bagi publik? Entah. Namun bagi periset, versi lawas edisi majalah gaya hidup pun layak bedah. Versi bekas majalah macam itu ada di lokapasar.
Saya tadi menyebut entah, dalam hubungannya dengan medsos, karena tak tahu apakah setiap socialite yang fotonya muncul dalam pesta itu punya akun Instagram. Kesan saya sih orang-orang kaya lama umumnya kurang suka pamer kepada masyarakat di luar lingkungannya.
2 Comments
Weh, The Stones.
Iya buat iklan jam tangan