Tulisan pada meja kasir bengkel ini mengundang senyum. Tetapi saya baru tahu itu bikinan Joger, Bali, setelah melihat foto di ponsel. Baiklah, selanjutnya sila baca ulang judul. Anda yang menjawab. Kalau menurut saya sih yang terbaik itu tidak merokok.
Saya tidak tahu bagaimana Bisnis Joger sekarang. Pada 1990-an Joger adalah salah satu oleh-oleh dari Bali, dengan permainan kata yang mengingatkan orang pada Dagadu Djokja. Dari segi produk, saya sih lebih suka bikinan Tony Tantra, kaus yang lebih dahulu lahir di Bali.
Tetapi kesan saya, Joger dan Dagadu lebih populer. Begitu populernya sehingga kedua jenama itu dibajak di mana-mana. Produk Tony, dengan sablon yang lebih bagus, entah kenapa kurang populer sehingga tak disukai pembajak.
Dari sisi segmen, saya menduga produk Joger dan Dagadu lebih disukai generasi boomers (kelahiran 1946—1964) dan kelompoknya awal generasi X (1965—1980). Sekali lagi, saya hanya menduga. Tanpa data.
Generasi yang lebih belia, dari gerbong tengah dan akhir Gen X, apalagi yang lebih muda, yakni Y dan Z, tampaknya kurang cocok dengan idiom Joger dan Dagadu. Misalnya stiker mobil Joger, “mobil ini belum lunas, tolong jangan ditabrak dulu”.
Perihal Joger, milik Joseph Theodorus Wulianadi, adiknya Jaya Suprana, sila baca arsip Republika (2015).