Natal. Merayakan atau tidak, semua orang tahu artinya. Setidaknya tahu bahwa mal dihias berbeda dari hari biasa. Dan karyawan di perusahaan yang mengenal dua macam THR, merayakan atau tidak, paham bahwa Natal berarti angpau akhir tahun, melengkapi THR Lebaran di tahun yang sama.
Natal bisa berarti hari peringatan, apapun tinjauan kesejarahannya sebagai tradisi gereja. Sebagai peringatan, Natal juga diiringi perayaan. Itu hal yang lumrah. Tujuh belas Agustus juga diperingati dan dirayakan. Dalam perayaan terkandung kegembiraan.
Bankan kadang, eh sering kali, jika menyangkut perayaan hari peringatan keagamaan, unsur profanitas bisa melebihi religiositas. Makna intrinsik ditindih pemaknaan nominal. Inti dikalahkan oleh bungkus.
Tetapi mana pun kadar yang lebih tebal, profan atau religius, dalam perayaan ada unsur ibadah atau ibadat, terserah suka kata yang mana. Dalam perayaan 17 Agustus di RT, sebagai acara sekuler, juga ada unsur ibadah berupa doa selain pidato. Demikian pula dalam banyak pesta pernikahan.
Jadi ibadah itu wajar. Tak hanya dalam perayaan beraroma pesta gembira, dalam pelayatan dan pemakaman juga ada doa. Ada ibadah. Bahkan di luar peringatan dalam rangka daripada yang mana adalah merupakan tiada hubungannya dengan hari besar keagamaan, bekerja pun merupakan ibadah.
Ibadah bisa berupa apa saja dan di mana saja. Bahasa Indonesia kadung mengenal istilah rumah ibadah, sebuah kategori yang menyangkut peruntukan bangunan, zonasi, hingga perizinan — termasuk di dalamnya kelayakan bangunan secara teknis sehingga harus ada IMB.
Jadi, kalau sudah ada rumah ibadah, ber-IMB maupun tidak, apakah orang tidak boleh beribadah komunal — bukan beribadah personal atau internal keluarga — di rumah atau menyewa gedung, atau malah menggunakan lapangan?
Pertanyaan itu tak aku jawab.
Jika kerabat, di luar di luar keluarga inti, juga sahabat, merayakan Natal di rumah sebuah keluarga apakah tidak boleh?
Kalau ibadah itu saban hari, atau seminggu sekali, bahkan terbuka untuk siapa pun yang tertarik ikut, rumah keluarga itu mungkin bisa digolongkan rumah ibadah. Mungkin.
Tetapi untuk Natal beda, kata sebagian orang. Mungkin di antara mereka termasuk yang mencoba melarang perayaan Natal di sebuah rumah warga di Cilebut, Kabupaten Bogor, Jabar, Ahad 25 Desember kemarin.
Natal itu beda. Jika alasan itu diterima, termasuk terhadap pernik festival dan ibadah, di mana masalahnya?
Ketika di media sosial beredar video itu aku prihatin dengan sebuah skeptisisme apakah benar-benar begitu, sehingga aku tak gatal jari asal membagikan konten tanpa tahu duduk soal, lalu menjadi pasti setelah media berita mengabarkannya dengan meminta konfirmasi polisi.
Komunikasi itu bisa mudah bisa sukar. Jika para pelarang perayaan dipersilakan mengemukakan alasan paling jujur, misalnya “Pokoknya kami nggak suka ada yang Natalan”, pun belum tentu mau.
Itulah sisi sulit komunikasi. Meskipun jawaban macam itu, misalnya saja, cocok di hati, belum tentu bisa diucapkan karena si pengucap sadar akan digiring untuk menjelaskan alasan.
Jika menyangkut suka dan tak suka terhadap sesuatu, orang cenderung enggan menjelaskan alasan karena dalih itu bisa memunculkan dua tanggapan.
Pertama: apakah Anda dirugikan, jika ya dalam hal apa saja?
Kedua: misalnya Anda juga dilarang merayakan hari besar keagamaan di rumah Anda, bukan karena pandemi, apakah Anda juga mau?
Komunikasi tak selamanya gampang jika menyangkut dua pertanyaan tadi.
Ada sih cara yang seolah bisa menutupi komunikasi sejak awal, yakni dengan pernyataan aksiomatis, “Pokoknya kami nggak suka sama kalian, ibadah kalian, dan perayaan kalian.”
Tak adakah celah untuk pertanyaan dalam aksioma?
Ada. Yang belum tentu tersedia itu jawaban di luar “pokoknya”.
2 Comments
Sedih saat melihat video tersebut kemarin. Semoga ke depannya, orang-orang yang bermodalkan “pokoknya gak suka”, “pokoknya gak boleh”, pikirannya lebih terbuka dan diberi ilham bahwa bumi umumnya, dan Indonesia khususnya, bukan milik mereka. Kerukunan dan kedamaian tercipta. 🤲
Amin.
Kehidupan ini milik bersama.
🙏😇