Jeruk adalah kesegaran. Persepsi itu kadung melekat sejak saya bocah. Waktu kelas dua SD, sepulang sekolah saya melihat tentara usai main voli di alun-alun Salatiga pada makan jeruk keprok, lalu saya pun cegluk kemecer. Sampai kini saya suka jeruk. Bahkan di tempat kerja dulu ada sejawat tak doyan jeruk yang selalu membiarkan jeruknya saya ambil.
Tentang jeruk sebagai nama tempat, saya belum mencari tahu kenapa di Jakarta ada Jalan Kebon Jeruk dan Kecamatan Kebon Jeruk yang di dalamnya ada kelurahan bernama sama. Saya menduga secara toponimis di sana dahulu, pada masa Batavia, ada kebun jeruk
Jarak dua titik Kebon Jeruk itu jauh, padahal sama-sama di Jakbar. Masjid Kebon Jeruk di Jalan Hayam Wuruk, yang di belakangnya ada beberapa jalan kecil bernama buah jeruk itu, berjarak sembilan kilometer dari RCTI di Jalan Perjuangan (dahulu: Pejuangan), Kebon Jeruk. Eh, Kebon Jeruk atau Kebonjeruk?
Salah satu Jalan Kebon Jeruk, yakni Kebon Jeruk III, dikenal sebagai kawasan toko suku cadang sepeda motor. Sedangkan di Jalan Kebon Jeruk IX ada rumah penulis Soe Lie Piet (Salam Sutrawan), ayah dari Soe Hok Djin (Arief Budiman) dan Soe Hok Gie (tidak mau punya nama baru).
Ingatan tentang Kebon Jeruk muncul tiba-tiba saat saya memotret jeruk yang tinggal sebutir di atas piring. Saya bersyukur isi benak masih bisa zig-zag dari titik ke titik memori. Lalu menuliskannya itu serupa merangkai Lego, mainan masa kecil, kiriman dari Negeri Belanda, yang tak saya gemari setelah dewasa.
Merawat ingatan, mengerem laju amnesia, agar tak termakan masa, itu lebih utama daripada jeruk makan jeruk.
3 Comments
Tentang merawat ingatan, dan seterusnya, baiklah.
Tapi saya enggak doyan jeruk, Paman. Soalnya, kalau makan jeruk, perut/lambung langsung berasa perih.
Wah nyuwun pangapunten berarti jeruk untuk Lik Jun adalah rezeki saya 🙏
😁👍