Bukan eufemisme, ini memang genangan, bukan banjir

Memang berkawan dengan air itu suatu seni. Kenapa sebagai bekas jajahan kita tak mewarisi kepintaran Belanda ya?

▒ Lama baca < 1 menit

Betul. Ini genangan. Bukan banjir. Lihat saja di latar belakang ada motor yang tak terendam. Meskipun bagian genangan tertinggi hanya semata kaki, tetap saja merepotkan bagi pejalan kaki. Sepatu dan sandal akan kemasukan air.

Tadi setelah hujan deras sudah berkurang saya berjalan kaki membeli makanan, dengan memintas blok lain agar tak bersua mobil sehingga takkan terciprat air kotor. Ternyata saya bersua genangan dangkal. Untunglah saya mengenakan sandal gunung.

Di mana masalahnya? Di mana-mana sama: permukaan jalannya cekung. Mestinya as jalan atau median lebih tinggi dari bahu jalan. Dan bahu jalan, atau tepi jalan, lebih tinggi dari got.

Saya bukan orang yang paham teknik sipil apalagi teknik militer, sehingga dalam soal kecekungan jalan itu saya hanya dapat menduga kalau bukan lantaran salah pengerjaan di awal ya karena amblas akibat beban, atau pasal geoteknis lainnya yang tak saya pahami.

Soal berikutnya adalah drainase. Saya pernah melihat ada jalan yang selain cekung juga saluran buang airnya ke got terhalang kanstin dan polisi tidur. Lubang air di antara kanstin terlalu kecil dan jarak antar lubang terlalu jauh. Sementara polisi tidur menghalangi air ke permukaan yang lebih rendah.

Salah siapa? Tukang dan mandor pengecoran. Warga hanya mendanai pembetonan jalan. Misalnya ada warga yang paham proyek pun dia harus bekerja di kantornya.

Di area saya, dahulu kala sebelum era Avanza dan Xenia, pernah terjadi pembangunan polisi tidur yang terjal, kurang landai. Toyota Kijang dan Suzuki Carry aman melintas. Tetapi sedan si pendana budiman jadi korban pertama: mobilnya, Mitsubishi Eterna, nggadhug. Korban lainnya adalah sedan orang luar dan taksi. Mungkin para tukang tak paham ground clearance mobil. Lebih dari itu ya poldur akhirnya menjadi perintang perjalanan air.

Apakah kesembronoan hanya terjadi di perumahan bersahaja? Tidak. Saya lihat sendiri, teras belakang lantai dasar dari sebuah gedung mentereng anyar berlantai delapan di Kebonjeruk, Jakbar, setelah terkena tempias hujan berangin kencang airnya sulit dihalau keluar. Kenapa?

Air tak berdusta. Tanpa waterpas pun langsung dapat disimpulkan bahwa lantai di depan pintu kaca itu lebih rendah dari lantai di ujung akses masuk. Jarak dua garis akses dalam dan luar itu sekitar empat meter dengan lebar delapan meter.

Padahal gedung itu dibangun oleh satu kontraktor utama dengan sekian subkontaktor dan tentu konsultan proyek.

Memang berkawan dengan air itu suatu seni. Kenapa sebagai bekas jajahan kita tak mewarisi kepintaran Belanda ya?

Jalan cekung untuk menampung air hujan

Tinggalkan Balasan