Barusan saya beroleh punjungan piscok dan pastel hasil olahan dapur sebuah keluarga. Matur suwun. Enak pula. Nah, ada yang menarik perhatian saya. Permukaan piring ponsel dipenuhi cap bibir bergincu. Kalau piring untuk steik lidah sapi cocok dicap bibir lidah The Rolling Stones.
Ini persoalan desain. Orang Indonesia mengenal aneka dekorasi piring porselen pada tahun 1970-an seiring kesejahteraan masyarakat dan pengayaan produk industrial, padahal saat itu cetak digital belum musim. Sampai 1980-an dekorasi tambahan untuk alat makan masih menggunakan mesin sablon (cetak saring) bertenaga listrik. Misalnya barang promo dari produsen sabun colek dan rokok.
Sekarang sih apapun bisa dikustomisasi tanpa jumlah pesanan minimum. Dahulu peneraan peralatan makan masih menggunakan cat, misalnya inventarisasi RT dan warung. Sampai awal 2000-an saya masih menjumpai piring bertera milik warung kaki lima di Gandaria, Jaksel.
Kini piring makan dari bahan apapun adalah barang biasa. Di minimarket juga ada. Tetapi apakah setiap anak indekos punya?
Ada lho karena tidak bisa meminjam piring dari induk semang maka anak kos tidak punya ajang makan. Nasi bungkus dan nasi boks kardus maupun dalam Styrofoam sudah cukup. Sekali pakai tinggal buang. Tak perlu mencuci.
Sendok? Kadang sudah disertakan oleh kedai. Apalagi sumpit. Nasi padang dan pecel lele bisa tanpa sendok. Kalau soto? Jika tak punya piring jangan memesan makanan berkuah.
6 Comments
Kirain itu kuenya bikinan istri, Mas. Ehehe. Kok ya bacanya pas belum sarapan ya, jadi ngelap iler. 😅
Ehehe kasihan juga ya Mas, anak kosan yang nge-fans soto, tapi gak punya piring. Mau gak mau harus andhok saja lah
Kalo dari Nyonya yang penting kecupan ya 🤣
Pakai handuk? 🙈
Eaaa eaaa sangat romantis sekali ehehe 😊.
Bukan handuk, Mas. 😅. ‘Andhok’ itu artinya makan di tempat kedainya. Ga dibawa pulang ehehe
Oh terima kasih, saya baru tahu istilah andhok 🙏👍😇
(((Cocok dicap bibir lidah The Rolling Stones)))
🤣