Karena kancilan, mendusin dari tidur dan tak dapat kembali ke alam mimpi, saya keluar dari kamar, lalu menyalakan ponsel. Pukul satu saya mengunduh e-paper edisi kemarin (8/12/2022). Kotak edisi hari ini masih kosong. Ketika sebelas menit kemudian saya kembali ke laman unduh Kompas.id, sudah terbit edisi Rabu (9/11/2022).
Bukan hal baru bagi saya membaca koran teranyar, masih hangat seperti roti keluar dari oven, sebelum dini hari. Arti dini hari menurut KBBI adalah “pagi-pagi benar (pukul 03.00–05.00)”.
Dahulu kala, saat bekerja hingga larut di kantor karena hari tenggat, sekitar pukul satu saya dan sejawat sudah menerima koran Kompas.
Hampir semua koran mematok tenggat pukul sepuluh malam. Begitu koran selesai dicetak, mobil ekspedisi segera ngebut ke luar kota — suatu hal yang kemudian teratasi oleh cetak jarak jauh, karena layout sudah dikirim via satelit, misalnya ke Bawen (Jateng) dan Medan (Sumut). Republika lebih dahulu mencetak jarak jauh, yakni di Solo (Jateng).
Koran untuk luar kota didahulukan supaya tiba di tujuan sebelum matahari terbit. Maka jika terjadi stop press — artinya pencetakan disetop karena ada berita baru — dalam kasus Kompas itu pembaca Jabodetabek mendapatkan edisi yang berbeda. Misalnya hasil pertandingan sepak bola.
Koran untuk Jakarta Raya dicetak belakangan. Sebelum subuh, lapak agen sudah dirubung subagen dan pengecer, misalnya di kolong jalan layang M.T. Haryono di atas Jalan Dewi Sartika, Jaktim.
Koran tengah malam berisi kabar wigati namun tak mengagetkan, sehingga hanya saya baca judulnya lalu saya tinggal tidur di kantor, adalah Kompas edisi Kamis 21 Mei 1998. Judul berita utamanya: “Selamat Datang Pemerintahan Baru”.
Pukul sembilan pagi, setelah semua pembaca Kompas tahu, Presiden Soeharto mengumumkan pengunduran diri.
Kenapa Kompas bisa paling awal memberitakan? Konon karena dapat info dari Jenderal Wiranto, Rabu malam 20 Mei.
HL Kompas 21 Mei 1998. Menyambut pemerintahan baru. Sekitar pukul 09.00, Soeharto umumkan b…https://t.co/jFQ7rb3y44 pic.twitter.com/RT5PWgN6DS
— Harian Kompas (@hariankompas) May 21, 2016
5 Comments
Membaca ini jadi membawa nostalgia jaman dulu ehehe. Walah terakhir baca koran Kompas, kelas 3 SMA. Ehehe. Begitu kuliah sampai sekarang, gak pernah baca lagi ehehe.
Newspaper is so yesteryear😇
Tentang Kompas menjelang-saat-sesudah pengunduran diri Soeharto saya jadi ingat tentang “wartawan istana” Kompas. Saya beberapa kali bertemu dia, sosok yang seingat saya murah tawa, ternyata kabarnya mbeling juga saat berada di Mesir (?) menjelang kejatuhan Harto.
J Osdar, wartawan itu. Yang dulu juga sering nulis tentang artis di kolom Nama dan Peristiwa.
Sudah saya duga. Mas Darso. 😇