Baiklah saya membuka aib diri. Foto yang ada dalam posting ini adalah yang kedua kalinya saya lakukan. Yang pertama dua hari lalu di Alfamart. Yang kedua tadi, saat membeli gula merah dan malah dapat bahan posting literan beras. Soal apa sih? Memarkir sepeda.
Selama ini saya kerepotan jika memarkir sepeda di depan toko dan warung yang lantai depan tangganya miring karena ditinggikan untuk menghadapi banjir. Saya harus mencari cara supaya sepeda tak ambruk saat standar saya tegakkan.
Nah, di Alfamart seorang aki yang biasa duduk di depan toko, dan saya sapa Babe, ketika melihat kerepotan saya tak dapat tempat parkir yang tepat, menganjurkan, “Repot amat! Pepetin sono tuh, pedal tarik ke belakang. Kelar!”
Ya ampun! Saya lupa cara lama ini! Padahal pit jengki saya waktu SMP-SMA dulu tanpa standar. Setelah kuliah, sepeda Phoenix milik anak kos yang sering saya pinjam ada tiang sandarannya. Setelah saya jadi orangtua dan sudah sekian kali beli maupun ganti sepeda selalu ada cagak nya. Hanya sekali, dua belas tahun silam, saya punya sepeda tanpa standar, di kantor, karena sudah tersedia paddock. Tetapi ketika ke bank saya menyandarkan ke pohon pinggir jalan, padahal tanpa kunci.
Saya selalu memarkir sepeda dengan menegakkan standar. Saya berusaha tertib, parkir rapi di tempat motor. Tak pernah terpikir memarkir di buk atau tangga dengan menjadikan pedal sebagai penopang. Di rumah saya pakai standar khusus.
Mungkinkah ini faktor usia? Masa sih bisa lupa cara praktis ini. Sepanjang tak mengganggu akses orang mestinya saya tak pernah lupa. Hmmm, baiklah saya mengajukan kilah ini: habit is second nature.
3 Comments
Enggak apa-apa, Paman.
Yang penting tidak lupa cara gampang ngeblog….
🏃
Terima jadi. Semoga demikian. 🤣
😁