Simpul Aceh: Tawanan lari akan tercekik sendiri

Adakah panduan tandingan untuk membebaskan diri dari cara Brimob menangkap orang dengan simpul ikatan mencekik?

▒ Lama baca 2 menit

Buku panduan untuk Brimob Polri

SIMPUL ATJEH. Dengan seutas tali, diikat pada leher dan kedua belah lengan. Dengan sebuah simpul pada punggung diantara tulang-tulang belikat, sedemikian rupa, sehingga pada suatu pertjobaan untuk melarikan diri, tali dengan sendirinja akan mentjekik pelarian pada tangan dan lehernja.

Buku panduan untuk Brimob Polri

Itulah penjelasan tentang cara mengikat tawanan, dalam ejaan lama, sebagai bahasan dalam buku Petundjuk dalam Soal Hidup atau Mati (R.W. v.d. Kuinder, Toko Buku dan Penerbitan Orange, Bogor: 1951).

Buku panduan untuk Brimob Polri

Si penulis adalah seorang komisaris polisi kelas satu, yang menjabat Kepala Bagian Pendidikan Sekolah Brimob Polri di Sukabumi, Jabar. Isi buku ini tentang cara bekerja lapangan, dari mencari “kaum pengatjau” dan “orang djahat” sampai membawa tawanan (saat itu belum ada istilah tersangka oleh polisi), termasuk jika harus menyeberangi sungai dengan berjalan kaki.

Buku panduan untuk Brimob Polri

Tak ada satu pun pelajaran yang saya praktikkan. Apalagi kalau menyangkut tali-temali saya tidak bisa. Padahal video panduan di Twitter dan YouTube banyak, dari mengikat benda sampai sulap.

Buku ini saya beli bersama sejumlah buku lain dari sebuah toko buku tua di Bogor, Jabar, namanya Politeia*, nama berbau Yunani, saat krisis moneter, Juni 1998, setelah Presiden Soeharto mengundurkan diri.

Buku panduan untuk Brimob Polri

Sebagian buku di sana masih dijual dengan harga lama, sesuai coretan pada halaman depan dalam buku. Memang begitulah “penghargaan” toko zaman dahulu sebelum ada stiker label harga. Harga buku tipis seukuran buku tulis setebal 28 pagina ini Rp400.

Hampir semua buku uang dijual di sana lusuh, kertasnya menguning, penuh debu kehitaman sebagai emisi karbon jalanan, tetapi bukan buku bekas. Semua buku itu baru, dari gudang penerbit langsung ke rak toko, namun sekian puluh tahun tak laku.

Serampung berbelanja saya harus membungkuk di depan keran siram tanaman di halaman, untuk mencuci tangan yang menghitam arang.

Entah jadi apa Toko Buku Politeia di Jalan Merdeka itu sekarang. Ada dua stempel berbeda nomor rumah dari toko itu, nomor 90 dan nomor 158. Nomor 158 itu mungkin 153, karena angka akhir pada stempelnya kurang tajam, singkatannya menggunakan “JL”, sesuai ejaan sejak 1972, bukan “Djl”.

Toko buku Politeia di Kota Bogor, Jabar

Lalu apa yang sebetulnya hendak saya bualkan? Soal buku lama.

Pertama: sejak dahulu, pada zaman kolonial hingga Indonesia merdeka, masyarakat kita sudah bergaul dengan buku sehingga penerbit dan toko buku bisa hidup. Ekosistemnya ada.

Kedua: dahulu tingkat pendidikan formal belum merata, tamatan sekolah rakyat pun bisa bekerja, jumlah sarjana belum banyak, tingkat kesejahteraan belum memadai bila dibandingkan sekarang, lalu berapa persen tamatan SMP ke atas yang membaca buku? Kenyataannya buku memiliki pembeli.

Ketiga: kini setelah sarjana makin banyak, setidaknya pemegang ijasah diploma, berapa persen dari mereka yang rajin membaca buku kertas maupun buku elektronik dan dokumen teks lainnya dalam format digital? Kalau saya sih bukan kutu buku, hanya kadang membaca buku.

Keempat: masih relevan dan berfaedahkah buku-buku lama? Tergantung isi buku dan minat serta kepentingan pembacanya. Buku daftar logaritma terbitan tahun 1960-an masih bisa menarik bagi entah siapa tetapi bukan untuk mengoreksi isi tabel. Mungkin dari sisi desain sampul dan teknik cetak serta unsur grafika lainnya.

Kelima: bertalian dengan dengan pokok keempat, buku lawas itu membantu kekayaan bahasa tulis kita. Bahwa dalam pergaulan hal itu akan mengundang ejekan, disebut sebagai orang yang berbahasa jadul, maka hal itu adalah risiko. Kekayaan tuturan menunjukkan jelajah rujukan.

Orang dengan kosakata yang kaya dapat bergaya bahasa hari ini, bila perlu amat ringkas penuh singkatan bercampur bahasa asing dan bahasa daerah, seperti saat bercakap-cakap melalui tulisan dalam WhatsApp, akan tetapi tidak sebaliknya.

Dalam buku karangan Pak Polisi yang saya contohkan, saya temukan kata “kesukaran”. Kata ini, demikian pula “sukar”, kini jarang dipakai oleh media. Tetapi pendeta dan dai lansia masih mengucapkannya. TTS masih menjadikannya sebagai soal. Kata “kesulitan” dan “sulit” lebih mudah kita jumpai.

*) Politeia, dari kata “polis” yang berarti kota atau negara kota, bermakna adab kehidupan bermasyarakat. Perbincangan ihwal filsafat Yunani terlekat dengan politeia.

4 Comments

srinurillaf Kamis 27 Oktober 2022 ~ 05.40 Reply

Sek sek. Mas toko buku Politeia itu masih ada sampai sekarang?

Pemilik Blog Kamis 27 Oktober 2022 ~ 22.53 Reply

Sudah tutup, Mbak 🙏

Yeni Setiawan Senin 24 Oktober 2022 ~ 16.43 Reply

Saya tahu lema “simpul Aceh” dari Kaskus, ketika isu GAM masih marak sekitar 1 dekade yang lalu. Ternyata sudah sejak lama lema tersebut ada dan digunakan.

Pemilik Blog Senin 24 Oktober 2022 ~ 17.55 Reply

Saya belum menemukan penjelasan dari mana asal kata simpul Aceh. Dari orang Aceh atau marsose Belanda?

Tinggalkan Balasan