Saya tak tahu namanya. Tetapi saya tahu asalnya: Freepik. Wajahnya memang menjadi aset layanan pustaka gambar freemium itu. Selain pernah melanggani Shutterstock saya pernah melanggani layanan berbayar Freepik. Saya akrab dengan wajahnya karena saya sering membutuhkan model Asia.
Dalam asumsi saya, tanpa alasan rasis, wajah Asiatik terasa lebih menyapa orang Indonesia. Ada proksimitas psikologis dan kultural. Saya ingat, dahulu ada majalah gawai yang kerap menggunakan model Kaukasian hasil jepretan sendiri. Saya sempat mengira itu foto dari bank foto asing, padahal difoto untuk redaksi di Jakarta.
Kembali ke Si Mbak. Dia cantik, postur proporsional, tampak semanak, bisa memainkan ekspresi sesuai kebutuhan pose, yang kebetulan memang bukan dari jenis penjepretan glamor yang sering mengemas model sebagai bidadari jelita nan tak tergapai, seakan-akan bukan the wadon next door. Sebagai model bagi akun @benzoix, Si Mbak tentu sudah menandatangani model release.
Saya pernah menyimpan beberapa foto dia di pelbagai gambar promosional, termasuk banner tegak di halaman proyek apartemen di Jatiwarna, Bekasi. Karena tempo hari ponsel saya factory reset, gambar-gambar itu pun lenyap.
Kalau tak salah, Bukalapak beberapa kali memanfaatkan wajah Si Mbak — tolong Anda koreksi apabila saya salah. Perusahaan lain yang beberapa kali memanfaatkan wajah Si Mbak adalah Rumahweb.
Tadi saya teringat dia karena melihat wajahnya dalam spanduk digital AdaKami, sebuah perusahaan tekfin. Nama dia menjadi Rara. Dalam salah satu berkas gambar Si Mbak di Freepik, ada unsur “korean-girl” dalam nama berkas yang panjang.
Tentu untuk ilustrasi blog ini saya juga acap memanfaatkan Freepik maupun Shutterstock, dengan atribusi. Kebetulan di Picsart berbayar yang pernah saya langgani itu Shutterstock membagikan foto. Pustaka gambar dari akun yang saya contohkan juga ada di Shutterstock.
Lalu? Justru karena internet itu lapangan terbuka, maka plagiarisme dan sejenisnya bisa diketahui. Infografik saya pernah dicomot media, nama media pemuat awal diganti seolah-olah mereka pembuat. Posting blog saya juga pernah diambil beberapa situs dengan sedikit modifikasi.
PR bagi para pengelola media adalah menanamkan pemahaman kepada awaknya tentang HAKI termasuk Creative Commons. Gambar berbayar maupun gratis punya variasi atribusi. Tidak bisa redaksi senantiasa berlindung di balik dalih “untuk penggunaan yang wajar”.
Untuk blog personal? Saya malah masih bingung. Misalnya saya menerima iklan apakah bisa dianggap blog komersial, padahal itu berimplikasi pada tata cara lisensi gambar pihak lain?
Perilaku saya kadang juga seperti media yang asal sebut “istimewa” dalam atribusi, tetapi saya menyebutnya “hak cipta belum diketahui”.
Seorang kawan pernah menasihati, “Bikin blog saat ngeblog nggak musim kok masih mikir gituan. Kalo masih sok menghormati hak cipta, ya bikin media yang punya investor sehat, mampu bayar gambar dan orang, punya lawyer sama ombudsman.”
2 Comments
Nggih leres, Paman, mbake memang cantik tur (ketingal) semanak.
BTW kalau bikin media dengan investor yang sehat, saya ikut lho.
Dan semoga ada Si Mbak di media baru 😁
BTW ada kan wong ayu tapi pancarannya ndak semanak, berjarak