Seharian radio Brava, Jakarta, mengocehkan keinginan pemerintah Singapura agar pengusaha mempekerjakan pegawai empat jam hari seminggu. “Asyik nggak Mas kalo diterapkan di Indonesia? Irlandia, Spanyol, Jepang, Jerman, dan Belgia bisa, katanya,” Kamsi menanya suami.
“Untuk sektor tertentu mungkin bisa. Tapi perlu uji coba. Dulu dari enam hari ke lima hari juga nggak langsung merata kan? Yang penting seminggu itu empat puluh jam kerja atau atau jadi tiga puluh dua jam tapi upah berkurang?”
“Ehm, kayak jawaban pejabat Kemenaker dan orang-orang HRD!”
“Lho kalo empat puluh jam, berarti sehari kerja sepuluh jam. Masuk jam delapan, ditambah rehat sejam, pulang dari kantor jam tujuh. Terus gimana dengan batas kelelahan dan produktivitas? Kalo di Jabodetabek mungkin udah biasa asal angkutan ke rumah ada. Terus gimana ibu yang sudah masuk kerja setelah cuti melahirkan habis? Ngirim ASI pake kurir kalo jauh gimana? ”
“Pasti ada solusinya. Itu perbedaan orang optimistis dan pesimistis, Mas.”
“Okay….”
“Kalo seminggu kerja empat hari, ada tiga hari libur buat jomlo bergaul, kencan, matiin mastiin jodoh, Mas.”
“Orang optimistis tuh sesibuk apapun pasti bisa dapat jodoh.”
“Dasar laki! Selalu ngeliat soal jodoh dari kacamata cowok!”
¬ Gambar praolah: Shutterstock
2 Comments
Dasar Tante Kamsi! Ngeliat jodoh kok dari jumlah hari kerja dan hari libur.🙈
Lha keluhan beberapa ibu dan perempuan lajang itu kalo orang terlalu sibuk bekerja jadi nggak sempat kencan dan menyeleksi calon suami 🙈