Seorang ayah seraya tersenyum menanya putri bungsunya, “Kapan kamu terakhir menginjak halaman kecil kita ini?”
Putrinya yang sedang mencuci sandal gunung, sepulang dari acara alam luar kantornya, pun tertawa.
Si ayah menanya lagi, “Sejak pandemi, 2020?”
Putrinya menggeleng. Lalu tertawa lagi.
Oh, itu baru rumah kecil, dengan halaman sempit di depan teras. Hanya si ayah dan ibu yang sering menginjakkan kaki di kaveling itu — begitu pun di gudang. Adapun lorong ciut di samping rumah, hanya si ayah yang melintasi, antara lain untuk membawa kantong sampah ke luar.
Saat melihat rumah besar dengan banyak kamar, dengan halaman yang bisa untuk parkir mobil tamu, saya kadang membatin apakah penghuni rumah menjelajahi secara merata sudut rumah di luar kamar-kamar dan bagian atap rumah? Jika ada kolam apakah setiap hari berenang?
Hanya anak kecil yang gemar menjelajahi bagian dalam dan luar rumahnya. Entahlah apakah gawai digital merenggut pengalaman jelajah kecil mereka di rumah sendiri.
Bagi saya, semungil apapun rumah, dengan halaman cekak, tetap lebih menyenangkan ketimbang unit di apartemen dan rumah susun.
Rumah di atas tanah. Saya suka. Ketika membuka pintu lalu melangkah keluar, saya masih menginjak bumi — padahal itu gang, karena tak ada halaman — bukan berdiri melayang di udara.
4 Comments
Rumah besar dengan sebuah kolam renang? Hmmmm.
Lha ya asal bayar pajak karena menggunakan air banyak banget. Memang sih kolam pribadi yang bagus nggak tiap minggu dikuras.
Kalau di Solo pemiliknya pasti sugih buanget.
Di Jakarta yang punya juga pasti sugih 🤭