Misalnya ke-diam-an istri korps abdi negara itu adalah kultur, Seali telah menyibak tabu.
↻ Lama baca 2 menit ↬

Pembelaan Seali Syah di tengah kultur korps istri

Cara Seali Syah Alam (32), istri Brigjenpol Hendra Kurniawan, dalam membela suami bagi saya menarik. Kita tahu, Hendra tersangkut kasus Ferdy Sambo, yang saat ini masih irjenpol, dalam hal perintangan keadilan, sehingga Hendra menjadi tersangka penghalangan penyelidikan pembunuhan Brigadir J.

Seali, seorang pengacara, menyuarakan isi benak dan hatinya secara terbuka melalui Instagram. Apa yang menurutnya ketidakadilan terhadap suaminya dia nyatakan sejak awal. Yang terakhir, dia menyiarkan tulisan tangan Sambo yang menyatakan Hendra tak terlibat perusakan DVR CCTV.

Sebelumnya, Seali menyurati Ketua DPR Puan Maharani, dengan tembusan ke Komisi III, yang intinya meminta Polri adil: justru harus melindungi anggota yang menjadi korban kebohongan, bukan mencari kambing hitam.

Sejauh saya tahu, jika seorang polisi terlibat kasus hukum, istrinya tak menyatakan pembelaan secara terbuka melalui media sosial. Meskipun misalnya akun dikunci untuk dilihat publik, akun lain dan terutama media akan menyiarkannya.

Kepala Divisi Humas Polri Irjenpol Dedi Prasetyo menanggapi lontaran Seali sebagai hak tersangka dan terdakwa, “Tapi fakta persidanganlah yang dinilai oleh hakim.”

Saya tak tahu, jika menyangkut istri polisi lain, ke-diam-an mereka itu karena sungkan ataukah semacam kebiasaan dalam korps Bhayangkari?

Tentu saya tak tahu respons internal pengurus korps istri polisi itu bagaimana. Pertanyaan serupa, tentang kesungkanan, berlaku untuk perempuan anggota Persit, Dharma Wanita, dan organisasi sejenis, yang suaminya sedang bermasalah dengan hukum.

Apa yang dilakukan Seali, seperti saya sebut di depan, sejauh saya tahu belum pernah ditempuh istri polisi.

Untuk kalangan partikelir, termasuk artis hiburan, pembelaan seorang istri (atau suami), berupa pernyataan, terhadap pasangannya dalam sebuah kasus, itu jamak. Masa sih istri nggak boleh membela suami?

Tetapi di lingkungan birokrat maupun militer, serta BUMN, tak pernah saya dengar pembelaan dari pasangan. Begitu pun saat seorang menteri dan gubernur tersangkut pidana, misalnya korupsi. Pasangan mereka memilih diam. Media juga tak menanya karena itu masalah suaminya, atau istrinya, sehingga lebih relevan menanya pengacaranya.

Misalnya ke-diam-an istri korps abdi negara itu adalah kultur, Seali telah menyibak tabu. Bukankah Dedi pun menganggap itu bagian dari hak tersangka dan terdakwa? Saya menafsirkannya sebagai hak Hendra, yang disuarakan istrinya sebagai pemegang kartu penunjukan istri (KPI) Polri.

Tentu di luar masalah ketersangkutan hukum seorang abdi negara ada soal mendasar yakni organisasi istri, apapun namanya. Pada masa Orde Baru, Dharma Wanita menjadi sorotan karena posisi subordinatifnya yang sampai ke praktik politik: monoloyalitas terhadap monolit Golkar.

Sebutan “wanita” setelah “dharma” yang mendorong kalangan feminis menggemakan sebutan “perempuan”. Memang sih, setelah reformasi, Julia I. Suryakusuma pada awal 2000-an menulis di Tempo, ingin menggunakan sebutan “wanita” lagi.

¬ Gambar praolah: Kapanlagi.com

2 thoughts on “Pembelaan Seali Syah di tengah kultur korps istri

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *