Kemarin malam sebelum genap pukul tujuh bunga ini masih kuncup. Pasti nanti malam mekar, saat itu saya membatin. Dan benar, pagi tadi dia sudah mekar. Lalu tengah malam tadi?
Tadi malam saat pergantian tanggal dan hari saya masih melek. Seperti biasa, saya lupa bahwa saat itu si wijayakusuma sedang mekar. Karena hanya setangkai? Dua pekan lalu mekar sepuluh tangkai dan saya membiarkan diri lupa mengamati.
Lupa atau tak niat untuk melihat? Gabungan keduanya. Beberapa kali terjadi, bunga mekar saat saya di teras. Pernah saya telat menyadari, sudah dini hari, bunga yang sore sebelumnya masih kuncup sudah mekar penuh, ada empat tangkai. Saya coba memotreti, tetapi karena cahaya kurang memadai maka hasilnya tak memuaskan.
Menyesalkah saya karena terlewat menunggui? Tidak. Karena masih ada kesempatan lain. Tetapi kesempatan itu pun belum tentu akan saya manfaatkan. Motivator menyebut keadaan saya mencerminkan motivasi yang lemah.
Mungkin sang motivator benar. Tak soal, bukankah saya tak menyesal? Lebih penting lagi, kelupaan ihwal bunga mekar itu tak menggerogoti rezeki saya.
Satu hal yang motivator pura-pura tak paham adalah saya lebih sering menuruti impuls dan mood. Kalau sesuatu menarik untuk saya foto, padahal pernah, saya akan melakukannya.
Apabila saat melakukan sesuatu lalu tersela, maka kegiatan — tak hanya memotret dan menulis — langsung saya hentikan. Belum tentu akan saya ulangi padahal ada kesempatan. Kembali ke niat dan suasana hati.
Waktu saya SMA, guru saya tak habis pikir ada ulangan saya untuk satu mata pelajaran yang nilainya 2, 8, 3, 9, 2… Saya mencoba menjelaskan tetapi Bu Guru tak memahaminya.
Begitu pun Bu Guru Lain, merangkap wali kelas, yang prihatin karena untuk pelajaran beliau ulangan saya hampir selalu 4 dan 5.
Suatu kali murid sekelas tak dapat mengerjakan sebuah soal. Untung-untungan beliau menyuruh saya mengerjakan di papan tulis. Ogah-ogahan saya maju. Soal bisa saya selesaikan. Lalu saya kembali ke bangku, duduk, dan menguap. Saya ingin segera pulang.
Bu Guru tetap tak paham kenapa bisa begitu. Kebetulan beliau mengenal ibu saya, lalu lapor, “Bu, putrané Panjenengan sing siji iki piyé to, kok anèh?”
Saya normal. Tidak aneh. Untuk urusan dinas saya peduli target dan tak suka jam karet.
*) Ketika memulai menulis posting ini saya tak membayangkan bakal ngelantur dan panjang. Niat saya semula hanya berbagi foto dan bercerita tentang kesempatan yang terlupakan. Lalu semuanya mengalir begitu saja tanpa jeda.
2 Comments
Waahh… sa jg punya bbrp pohon wijaya kusuma di rumah. Gara² unggahan ini sa jd pengen cerita jugak 😁
Lha yes, sumangga