Selama pandemi saya baru dua kali mendatangi resepsi pernikahan.
Yang pertama masih dalam PPKM, protokolnya ketat, ditunggui satgas Covid-19, tetamu terbatas, tanpa prasmanan melainkan duduk mengelilingi meja bundar untuk empat orang, dalam luncheon lengkap genap sejak hidangan pembuka hingga penutup, dengan jarak antarmeja lebih jauh dari di restoran. Seusai bersantap tidak ngobrol dengan tamu lain, kata orang Jawa “dhangsah” — bar madhang késah, usai makan langsung pergi.
Yang kedua hari ini, di sebuah hotel yang segedung dengan mal, ada petugas pengingat pasang masker di gerbang pengukur temperatur otomatis namun hanya sedikit orang yang mengukur diri. Suasana di dalam berbeda dari saat PPKM ketat.
Lalu moral cerita apa yang saya petik dari resepsi ini? Tak ada yang baru. Sama seperti umumnya resepsi sebelum pandemi.
- Sebagian tetamu tak memedulikan pidato sambutan padahal sudah ringkas, mungkin organizer menerapkan rundown ketat, mereka ngobrol sendiri, cekikikan, tetapi tadi tak ada yang sibuk cipika cipiki
- Hal sama berlaku dalam tausiah, khotbah, dan sejenisnya dalam agama apapun
- Idem untuk doa dalam agama apapun, tak semua hadirin bertakzim, bahkan misalnya berbeda iman pun mestinya diam, menghormati — memang sih ada yang berucap amin pada saat yang tepat, tetapi setelah itu mengobrol lagi*
Untuk doa, saya selalu menanya diri kenapa masih ada klaim diri kita adalah bangsa yang religius?
Saya tak punya jawaban.
*) Hal yang sama bisa berlaku saat melayat di rumah duka dan di pemakaman