“Kam,” Tante Tini Eskrim membuka obrolan, “kalo kamu jadi Sambo apa yang kamu lakukan?”
“Wah saya nggak berani nembak orang kecuali dia penjahat yang melawan sekaligus menyerang petugas, Tante,” jawab Kamso.
“Oke, misalnya dia bukan ajudan tapi penjahat ganas, setelah kamu nembak dia kena kepala langsung mati terus gimana?”
“Ya lapor atasan, Tante. Apapun jabatan saya, kan ada hierarki misalnya saya Kadivpropam.”
“Kamu siap diperiksa, siap masuk sel?”
“Iya dong. Apapun pangkat dan jabatan saya, kan saya harus bersikap perwira bahkan misalnya saya cuma tamtama paling rendah.”
Kamsi menyergah, “Terus kenapa Sambo nggak ngaku sejak awal? Kan nggak perlu nyeret polisi lain, level perwira pula?”
“Penyidik dan Sambo yang tahu,” kata Kamso.
Tante menukas, “Nah itu menariknya. Apa yang dia pertaruhkan kalo ngaku sejak awal, lantas apa untungnya kalo bohong supaya penyidikan buntu lalu dihentikan?”
“Banyak ruginya kalo sejak awal ngaku. Udah kebaca di depan. Hilang jabatan sama pekerjaan, jadi napi. Kalo berdusta kan masih ada peluang lolos. Yang namanya peluang kan harus dimanfaatkan,” kata Kamsi.
Tante menahan tawa, “Kok kayak prinsip main dadu. If you don’t throw the dice you won’t get a six. Lempar dadu ada kans dapet anem eh enam.”
“Oke. Lapan anem, Tante, hehehe…” sahut Kamso.
“Emang dadu ada yang delapan, Mas?” Kamsi memotong.
“Daduku yang delapan sisi itu ada. Oktahedron.”
¬ Gambar praolah: Shutterstock (latar)
4 Comments
Sudah ngaku pun belum jelas apakah pengakuannya benar seluruhnya, misal tentang motif/alasan pembunuhan.
Ini seperti tebakan dalam silogisme.
Premis mayor: blogger gombal adalah seorang pembohong.
Premis minor: blogger gombal menyatakan diri pembohong.
Apakah pernyataan si blogger gombal bisa dipercaya?
Tentang Sambo, dia bukan pembohong seumur hidup. Saya yakin itu.
Ketahuan berbohong satu kali, dan kemudian dianggap bohong terus?
Bukankah manusia sering tak Adil sejak dalam pikiran?