“Berat ya Mas jadi Pak Listyo sebagai Kapolri, ngurusin anak buah yang gitu. Tuh dua puluh lima orang diperiksa soalnya diduga menghambat penyidikan dan bekerja nggak profesional buat menangani kematian Brigadir J,” kata Kamsi.
“Ya harus gitu. Lagian Jokowi kan minta semua dibuka,” sahut Kamso.
“Nah, buka-bukaan itu yang berat. Biar gimana-gimana kan nyangkut korps.”
“Hmmm…”
“Sejak awal udah banyak kejanggalan, ya jarak waktu kejadian dan pengumuman, lalu perlakuan terhadap jenazah dan keluarganya, TKP dibersihin, padahal mereka kan polisi? Masa nggak ngerti? Atau justru karena paham banget soal penyelidikan dan olah TKP makanya gitu. Satpam RW kita aja tahu cara menjaga keutuhan TKP yang harus steril. Ilmunya kan dari polisi juga, Mas.”
“Lho kok kamu jadi polisi?”
“Semua orang yang ngikutin berita pasti mikir gitu, bukan karena sok tau, Mas.”
“Oh, gitu.”
“Lantas kenapa nggak sejak awal lebih ketat penanganannya, maksudku begitu ada yang janggal langsung diberesin?”
“Lha kan udah, Jeng? Kapolri langsung bergerak. Yang repot kan soal pembuktian? Masa main tunjuk orang gitu aja sebagai tersangka…”
“Masih teman sekorps lagi?”
“Hmmmm…”
“Huh, dari tadi Mas kayak nggak semangat buat ngebahas…”
“Lagi merenungkan ucapan kriminolog dan ahli kepolisian, Profesor Adrianus Meliala, soal budaya polisi. Dia pernah jadi penasihat beberapa Kapolri. Budaya polisi yang berlaku di banyak negeri tuh police code of silence. Artinya, sesama polisi punya rahasia yang nggak perlu diketahui orang.”
“Pak Listyo ada dalam situasi kondisi yang kayak gitu, Mas?”
“Nggak tau, Jeng.”
¬ Gambar praolah: Liputan 6