Saya termasuk orang yang sering tergoda iklan, lalu mengeklik, hanya untuk memuaskan rasa ingin tahu. Bermula dari mengeklik iklan ponsel Android Rp295.000 akhirnya saya tergiring ke etalase ponsel anyar beneran, bukan mainan, seharga Rp58.000.
Tentang ponsel Rp58.000, yang tombol tiknya agak menyerupai BlackBerry itu, pikiran saya mengarah dua hal, dengan pengikat benak ke dunia anak.
Pertama, jika balita membutuhkan mainan, manakah yang lebih tepat:
- ponsel kayu yang memang mainan tanpa fungsi telefoni?
- atau ponsel beneran yang hanya bisa untuk memotret, memutar musik, dan radio, karena operator tak mendukung?
Kedua, jika orangtua ingin memberikan ponsel beneran sebagai mainan untuk anak — agar mereka tak meminjam ponsel ayah dan ibunya, lalu mengetikkan pesan apa saja untuk orang lain, atau menghapus berkas — pada usia berapakah yang tepat bagi anak?
Untuk ponsel sebagai mainan dalam pernyataan barusan, saya mengabaikan daya dukung sistem operasi dan spesifikasi peranti terhadap gim beserta pemutakhirannya.
Saya tak mengalami kerepotan itu karena ponsel biasa, bukan ponsel cerdas, yang pertama saya miliki ketika si sulung masih empat tahun dan si bungsu belum genap setahun, lagi pula ponsel saya pakai seperlunya karena hanya bisa berhalo-halo, bahkan mengirim SMS lintas operator pun belum bisa.
Saat itu frekuensi dan durasi memegang ponsel sangat pendek. Orang yang menelepon saya juga sedikit. Ketika di luar kota bersama keluarga pun menerima panggilan itu mahal lantaran biaya jelajah (roaming).
2 Comments
Dua dari tiga cucu saya (dari dua anak saya) kelas II SD dan kelas I dibelikan orang tua masing-masing ponsel beneran, bukan mainan. Itu sesuai kebutuhan karena saat pandemi covid mengganas, cucu-cucu saya belajar di rumah pakai sistem online.
Di luar kebutuhan belajar, orang tua mereka sering bilang bahwa dua cucu saya itu, “hapenan teruuuuus.”
Masa pandemi dan kelas daring mengubah banyak hal 🙏