Di suatu tempat saya temukan botol kosong wiski lokal buatan Bali. Masih baru, belum terguyur hujan. Lalu saya bawa dan saya foto. Saat memotret tebersit niat untuk bikin cerita, dengan infografik tarif cukai, sekalian kembali ke laptop, supaya saya ingat lagi cara pakai peranti itu, apalagi kacamata baca saya sudah tersua.
Intinya, minuman beralkohol memang perlu diatur. Legalisasi adalah cara untuk mengatur. Dalam pengaturan ada pembatasan, pengawasan, dan penindakan — berapa pun kadar alkoholnya, termasuk bir yang paling rendah. Di negeri yang permisif pun alkohol mengenai pembatasan penjualan dan konsumsi.
Adapun cukai, itu adalah instrumen fiskal untuk membatasi konsumsi sekaligus menambah penerimaan negara di luar pajak. Maka harga miras dan rokok naik terus.
Adakah negeri bebas yang melarang miras? Ada. Pernah. Yaitu Amerika Serikat (1920—1933), antara lain karena desakan gereja tertentu. Periode pelarangan ini menumbuhkan penyulingan gelap berikut distribusinya. Mafia bermain, suap merajalela di Chicago, tempat Al Capone menjadi pentolannya. Kementerian Keuangan membentuk satgas penggebah di bawah Eliot Ness.
Saat ini RUU tentang Larangan Minuman Beralkohol belum jauh beranjak jauh, masih di urutan ke-15 dari 40 RUU Prioritas 2020-2024 (¬ Prolegnas DPR) . Dalam daftar Prolegnas DPR masih berikon dokumen biru, artinya masih di tahap pembahasan komisi.
Kalau soal Perpres Miras yang dibatalkan Jokowi? Yeah, penentangan teramat keras. Padahal investasi industri miras tak diberlakukan di semua daerah, tetapi publik kadung menganggap hal itu akan berlaku di seluruh Indonesia. Pemprov DKI saja belum dapat sepenuhnya melepaskan andil dari PT Delta Djakarta, produsen bir. Kini provinsi dengan sejumlah produsen miras legal adalah Bali.
¬ Informasi dalam infografik Beritagar.id dan Lokadata.id sesuai keadaan waktu dibuat, yang mungkin sudah berbeda dengan dengan keadaan saat posting ini saya buat
¬ Bukan posting berbayar maupun titipan pihak mana pun