“Jangan soksialis gitulah. Itu namanya sinis. Kayak ada unsur dengki dan curiga ama orang makmur.”
“Enak aja nuduh.”
“Iya, gaya gitu tuh tipikal soksial!”
“Kok gitu?”
“Lagi pula nyebut si miskin segala. Emang mereka ngerasa miskin? Sebagian udah punya fulus dari ngonten. Ibarat bisnis, ada pengusaha besar dan kecil, yang penting sama-sama pengusaha.”
“Tapi kapitalisasi ginian nggak oke! Ada unsur manipulatif!”
“Emang siapa yang mulai bikin istilah Citayam Fashion Week? Bukan anak-anak Citayam kan? Mungkin yang bikin nggak ada niat kapitalisasi, tapi efeknya the-so-called urban middle class, termasuk politikus oportunis, akhirnya manfaatin pentas Citayam. Anak Citayam nggak keberatan.”
“Hmmmm…”
“Biasa itu. Sejarah seni mengenal pengerekan derajat produk kesenian bawah ke atas, ke dunia para menak, dengan sofistikasi, pencanggihan…”
“Beda. Itu namanya adopsi.”
“Oke, apapun namanya terserah. Tapi sebagai brand atau apalah, emang Citayam Fashion Week bakal langgeng?”
“Habis ini pasti ada ceramah afirmatif komodifikasi atau apalah, pake bahasa sok terpelajar cuma buat pembenar…”
“Situ juga mulai rumit!”
¬ Gambar praolah: Shutterstock
¬ Pemutakhiran 25/7/2022, 11.38: penjelasan Baim Wong (¬ Detik)
Dear Baim Wong dkk.
Nasehat saya, tidak semua urusan di dunia ini harus selalu dilihat dari sisi komersial. Fenomena #CitayamFashionWeek itu adalah gerakan organik akar rumput yang tumbuh kembangnya harus natural dan organik pula. pic.twitter.com/1iO7eZem8I
— Ridwan Kamil (@ridwankamil) July 25, 2022
7 Comments
Setelah baca konten Paman saya nemu ini :
https://m.youtube.com/shorts/7GB8qwmNcuI
Baim Wong, bukan Farid Wong, sudah membuat klarifikasi dan saya masukkan dalam update.
Iya, tadi saya baca klarifikasi Baim Wong di Kompas.com tapi isinya tidak seutuh dalam tautan Detik.com yang dilansir eh dikutip Paman.
Tetapi isu kapitalisasi tetap.
Sudah saya tambahkan cuitan Ridwan Kamil tadi siang setelah posting ini terbit, bukan Kang Emil sbg gubernur, tetapi sebagai pegiat ekonomi kreatif
Saya baca juga kritik-saran Kang Emil itu tadi.
Bukan hal yang mengagetkan — di Indonesia.
Secara umum ini berlaku di banyak bidang di negeri mana pun