Sungguh bodoh, selama ini saya tak dapat memastikan daun hijau muda pembungkus nagasari itu daun apa. Hanya bisa menduga itu sejenis daun pisang tertentu. Tadi setelah makan nagasari, saya pun mencari tahu tanpa tempe di Google. Ternyata itu daun pisang muda.
Daun pisang muda dari jenis pisang apa? Saya belum mendapatkan info. Bahkan untuk daun pisang hijau tua pun saya tak dapat membedakan tekstur maupun kelemasan dan kekakuan daun pisang batu dan raja, misalnya berbeda, berikut pengaruhnya terhadap rasa.
Artinya apresiasi kuliner saya payah. Seseorang yang mendaku sebagai pencinta kuliner tak hanya doyan menceritakan rasa tetapi juga paham cara membuat, bahan-bahannya, dan latar cerita tentang sebuah makanan. Tanpa bekal itu berarti gombal. Cuma pengudap dan pencicip biasa seperti saya.
Dari Google saya tergiring ke beberapa lapak lokapasar penjual daun pisang. Ternyata di lapak yang sama harga daun tua lebih mahal daripada daun muda.
Selain itu saya pun menemukan panduan menjaga daun pisang agar tetap segar dan tak menguning layu (¬ Sajian Sedap).
Daun pembungkus maupun alas makan tak hanya daun pisang, karena ada juga janur, daun jati, dan daun bambu misalnya untuk membalut bacang.
4 Comments
Iya, godhong gedhang enom itu, Paman.
BTW tadi pukul 07.00 lebih sedikit membelikan istri di bakul tenongan, tiada tersedia nagasari.
Saya nitip lemper, bol jaran, dan es lilin nangka kalau ada
Bol jaran dan es lilin nangka tiada pernah dijual di sana.
Bol jaran, bikin sendiri dong, kan Paman punya cetakannya.😁
Saya ndak bisa masak 🙈