Sore sambil rebahan melamun saya foto kotak tisu. Lalu pikiran saya ke mana-mana. Sejak kapan saya mengenal kertas tisu? Sudah lama. Lupa. Tetapi saya ingat ketika keluarga saya, juga keluarga lain, belum terbiasa dengan tisu. Apalagi kami hidup di kota kecil. Saat itu di Salatiga, Jateng, supermarket pun belum ada.
Bagaimana membersihkan tangan? Ya mencuci. Karena waktu itu tak ada wastafel ya di bak cuci piring dapur. Atau di sudut lain yang ada airnya, termasuk keran. Untuk mengeringkan tangan ya pakai lap tangan atau handuk milik sendiri yang dijemur pada kawat maupun dikeringanginkan. Keluarga lain juga begitu. Lumrah.
Bagaimana kalau di rumah orang dan sekolah? Beruntung sejak kelas tiga SD saya selalu mengantongi sapu tangan. Ibu saya memenuhi permintaan saya, dengan mengambilkan beberapa helai sapu tangan dari dus stok milik Bapak. Lalu Ibu menyulamkan inisial AR berhuruf indah dengan benang DMC pada sapu tangan itu . Saya ingin punya sapu tangan karena meniru teman, seorang sinyo indo dengan jambul rapi berminyak, yang tak pernah kerepotan membersihkan tangan setelah mengudap di warung Pak Bon.
Tisu. Kertas. Konsumsi dunia terus bertambah. Setiap rumah punya tisu. Setiap warung makan punya. Konsumsi bertambah karena penduduk terus bertambah, dan gaya hidup mengarahkan ke tisu. Kita belum terbebas dari kertas, termasuk tisu. Coba lihat The World Counts.
2 Comments
Di warung makan istri saya selalu ada tisu tapi tidak ditaruh di meja-meja melainkan disiapkan dekat meja kasir. Kalau ada pembeli yang minta, baru diberikan.
Pengamatan istri saya, jika tisu ditaruh di meja, pembeli cenderung berlebihan memakainya — termasuk hanya diuntel-untel.
Nah betul itu. Jangan langsung disediakan. Soalnya ada orang yang boros tisu. Apalagi ada yang jorok, langsung dinyanyikan ke lantai. Dandan cantik tapi tisu pating tlècèk di meja dan lantai. 🙈🙊