Berbagi gambar kecelakaan, di manakah batasnya?

Jika Bom Bali 2002 terjadi saat smartphone dan media sosial seperti kini, mungkin akan banyak foto dan video mengerikan.

▒ Lama baca < 1 menit

Kecelakaan beruntun di Jalan Arteri Transyogi Cibubur 18/7/2022

Foto dan video kecelakaan di Jalan Arteri Cibubur kemarin aku dapatkan dari sebuah grup WhatsApp yang anggotanya di kawasan Pondokgede dan sekitarnya. Aku tak tega melihat. Aku cari situs berita belum muncul. Di Twitter sudah bermunculan.

Para saksi mata dan pelapor kejadian ingin cepat-cepat berkabar. Mereka tak sempat menyensor foto dan video tubuh korban. Tak sempat, karena menyensor dengan mosaik maupun pengaburan objek butuh waktu, yang mungkin lebih lama daripada saat merekam video. Tak sempat, juga mungkin tak tahu caranya. Tak sempat, mungkin karena aplikasi kecil untuk itu tak ada dalam ponselnya.

Aku belum tahu adakah filter otomatis untuk menyensor foto dan video saat akan dikirimkan. Mungkin ada namun belum memuaskan karena kecerdasan buatan yang ditanamkan kepadanya belum dapat membedakan merah darah dan merah cat yang membasahi kepala maneken di atas trotoar. Melibatkan publik untuk menandai gambar mengerikan belum tentu efektif.

Kembali ke soal berbagi foto dan video. Media sosial mendorong orang untuk menjadi pelapor pertama dan begitu pun orang lain yang meneruskan kontennya. Begitu banyak foto dan video kecelakaan tersebar cepat dengan menampilkan kondisi korban yang belum tentu dapat ditenggang setiap mata. Opsi di Twitter bagi pengunggah foto dan video untuk memasang peringatan sebetulnya ada, tetapi mungkin terlupakan, atau terabaikan, karena bagi si pengunggah foto dan videonya tak terlalu mengerikan, tingkat kekerasannya tak terlalu pejal runcing.

Ingat pengeboman di halte Cawang lima tahun lalu? Foto-foto mengerikan menyebar di media sosial. Bukan hanya tubuh korban, termasuk terduga pelaku, tetapi juga anggota badan. Jika Bom Bali 2002 terjadi saat smartphone dan aneka platform media sosial sudah merata, mungkin akan banyak foto dan video mengerikan.

Salahkah mengabarkan petaka dengan gambar? Tidak. Tetapi tak ada yang menjamin bahwa kiriman kita hanya untuk atau orang kemudian menjadi konten di ranah publik.

Sebenarnya dari media berita warga dapat belajar. Misalnya ketimbang repot menyensor gambar pilihlah sudut yang memberikan gambaran simbolis. Dari posisi benda mati, orang lain dapat membayangkan sendiri apa yang telah terjadi sejauh imajinasinya tahan.

¬ Foto: Kompas.com

3 Comments

junianto Selasa 19 Juli 2022 ~ 12.01 Reply

Belum lama tadi di sebuah grup WA wartawan di Solo, seorang kawan membagikan pengumuman bahwa penyebar foto korban kecelakaan lalu lintas di medsos terancam hukuman maksimal enam tahun penjara, sesuai Pasal 27 Ayat 1 UU ITE.

Saya baca ayat di pasal itu, yang mensyaratkan kesusilaan, dan bertanya dalam hati apakah foto korban kecelakaan memenuhi unsur?

Pemilik Blog Selasa 19 Juli 2022 ~ 17.53 Reply

Foto kecelakaan dan luka lbh dekat ke “kekerasan”. Setahu saya setiap platform punya panduan komunal.

Kalo cara media Barat, foto gak bia dilihat kecuali menyetujui disklaimer dalam tabir gambar. Spt di Boston Globe itu.

Tinggalkan Balasan