Tadi saat menarik laci dapur tumben saya memperhatikan benda lonjong merah dan memungutnya. Sudah lima belas tahun barang ini di situ. Kami tak pernah memakainya: alat penghitung durasi merebus telur ayam yang menampilkan perubahan warna dalam perebusan.
Saya membelinya sebelum era lapak daring di sebuah toko perkakas rumah tangga. Saya lupa berapa harganya. Pokoknya murah. Lagi pula saat itu belum ada aplikasi ponsel untuk memantau perebusan telur.
Kenapa dahulu saya membeli benda ini? Karena tertarik, belum pernah tahu.
Bergunakah? Pernah saya gunakan, mencoba membuat telur rebus setengah matang.
Berhasilkah? Ya.
Apakah orang selain saya di rumah juga mencoba barang ini? Ya, tapi tak lebih dari sekali.
Apakah anak-anak saya, waktu itu masih bocah, terkesan oleh benda ini? Seingat saya tidak.
Kenapa barang ini tak laku di dapur kami? Kami tak terbiasa makan telur rebus setengah matang, bahkan tatakan telur setengah matang itu entah disimpan di mana, kecuali di tempat lain yang menyuguhkannya. Kami lebih suka telur ceplok setengah matang. Saat membuatnya juga lebih mudah, tingkat kematangan langsung terpantau.
Maka kembali pertanyaan awal, kenapa dahulu saya membeli benda ini? Jawabannya sama.
Maka hikmah soal sesungguhnya tetap: membeli alat bukan karena butuh, tanpa merujuk bukti di internet, namun semata lantaran impuls.
Kini setelah belanja daring di lokapasar menawarkan banyak pilihan, dengan sekian testimoni konsumen maupun video reviu di YouTube, apakah kita menjadi lebih selektif dalam berbelanja barang menarik yang antara perlu dan tak perlu?
Jangan-jangan kita makin konsumtif dengan kuda-kuda “kalo nggak kepake bisa dikasihkan orang”.
Dunia konsumsi adalah seni yang memadukan daya beli, kebutuhan, keinginan, rasa penasaran, ketamakan, dorongan impulsif, keisengan, dan pengabaian daya tampung ruang di rumah — bahkan di tempat kerja.
2 Comments
Telur rebus setengah matang maupun telur ceplok setengah matang, saya tidak doyan.
BTW alatnya bikin saya, yang bukan anak-anak, terkesan.
Saya dulu juga terkesan karena tanpa unsur mekanis. Mungkin merebus telur di Tawangmangu dan Solo beda durasi, tapi hasil prakiraan durasi bisa banar karena berdasarkan suhu air. Mungkin lho.