Mendapati komik dalam kemasan susu karton menghibur juga. Kesan saya, jenama Oatside di Asia Tenggara membidik generasi milenial dan Z, bukan lansia dari laskar boomers.
Dalam asumsi saya, lansia sulit dirayu jenama baru. Saya teringat stasiun radio rock M97 FM yang 20 tahun lalu membidik orang 30 ke atas, tapi kesan saya yang banyak mendengarkan adalah 40 ke atas, teraba dari idiom yang digunakan pendengar.
Taruh kata mereka belum lansia, masih 50-an, tetapi kelompok ini kalau masih merokok sulit berganti merek — atau malah sudah berhenti merokok, antara lain atas perintah dokter. Membeli jin tetap Levi’s.
Mungkin kini hanya dalam sniker mereka mau mencoba merek lain karena eranya memang sniker, banyak teman, padahal sebelumnya mereka hanya mau bersepatu kulit, sejak boots sampai slip on, formal sampai kasual, dengan merek itu-itu juga. Sniker punya, banyak, tetapi untuk olahraga. Untuk keseharian mereka memilih walking shoes bukan putih dan tanpa rupa meriah.
Pasar masa kini dan hari esok memang milik kaum muda. Untuk lansia apa dong? Masih ada. Banyak. Antara lain produk dan layanan kesehatan plus spiritual.
¬ Bukan posting berbayar maupun titipan
3 Comments
Tetapi makin ke sini, apakah komik masih populer untuk generasi sekarang? Saya sendiri termasuk generasi lawas yang pernah gila komik, yang sering masuk-keluar tempat-tempat yang dinamakan “persewaan komik” di Solo.
Tentang jenama, lansia yang biasanya mempertahankan merek favorit lama (dan mahal) mereka pasti yang secara ekonomi tak surut meski sudah jadi lansia.
Komik masih digemari. Ada banyak genre. Gaya visual juga beragam dari gaya manga Jepun sampai Marvel dan DC.
Lansia sejahtera cenderung tak berkompromi dalam memilih jenama. Bahkan ada yang hanya mau mobil Eropa.
Oh iya, saya melupakan Marvel dan DC.