Karena saya tak rajin mengikuti info seputar reforma agraria, hari ini saya gumun tersebab berita: 525 rumah orang Bajo di Wakatobi, Sultra, telah beroleh sertifikat tanah dengan status hak guna bangunan (HGB), bukan hak milik (HM). Sebelumnya? Rumah-rumah panggung di atas perairan pantai itu tak bersertifikat.
Kampung Mola yang terdiri atas lima desa itu terbentuk mulai 1950-an saat orang-orang suku Bajo menyingkir dari daratan karena konflik dua masyarakat lain.
Oh, sertifikat. Empat tahun silam ketika terjadi gempa, likuefaksi (pencairan tanah), banjir, dan tsunami di Sulteng, rumah orangtua sejawat di pantai Palu tersapu habis tanpa bekas, termasuk batas lahan. Saya pun menanya soal sertifikat tanah nantinya bagaimana, dan dia bilang, “Nah itu dia. Nggak tau kita.” Ternyata tahun ini secara bertahap sudah terbit (¬ Antara Sulteng).
Untuk korban tsunami Aceh 2004, dua tahun lalu ada berita Pemkab Aceh Timur sudah menyerahkan sertifikat tanah di kampung asal kepada 65 warga yang mengungsi (¬ Berita Dinas Pertanahan Aceh Timur).
Sedangkan bagi warga korban abrasi di Pantura Jawa, yang rumahnya terendam air laut, bukan berdiri di atas air laut, misalnya di Muara Gembong, Bekasi, Jabar, dan Sayung, Demak, Jateng (¬ Tirto-Storigraf), dalam pengandaian saya sertifikat tanah masih diakui meskipun ada bangunan yang sudah ditinggalkan.
Sama-sama berumah di atas air, kasus Pantura Jawa dan Wakatobi berbeda. Sedangkan di Palu dan Donggala serta Aceh, rumah sama-sama tersapu air bah. Saya membayangkan alangkah repotnya pemetaan untuk kepentingan agraria dan tata ruang tanpa satelit.
2 Comments
Bagus ya, Paman. Meski bukan HM tapi HGB, ada kepastian hukum bagi mereka.
Yang tanah orang tua kawan Paman di pantai Palu, sudah dapat jugakah?
Belum tahu saya 🙏