Alamat dalam selebaran itu merangsang saya untuk mengingat, padahal itu di kawasan saya. Saya tunda membuka Google Maps. Akhirnya agak terbayang di mana jalan itu.
Saya rasa ini masalah umum orang yang bermukim di pinggir kota, dekat perbatasan provinsi pula, padahal kawasannya terus berkembang, perumahan baru dan jalan baru terus bertambah. Kalau tak pernah melewati semua titik dalam radius tiga kilometer pasti seorang warga tak paham alamat sekitar.
Memang teknologi memberikan solusi. Google Maps itu sip. Karena layanan pemesanan makanan pun menggunakannya sehingga saat memantau pesanan kita pun jadi mengenal lokasi sekitar.
Tetapi orang-orang yang rute bepergiannya itu melulu, bahkan lintas provinsi, misalnya dari Pondokmelati (Bekasi) ke Jaksel (DKI), via JORR, mereka kurang mengenal wilayah di sekitar rumahnya. Bahkan nama jalan di kompleks sendiri pun tak dapat memberi ancar-ancar.
Maka di sebuah kawasan jika Anda menanya nama jalan, tetapi tak ada yang bisa menjawab, jangan cemberut. Itu sudah lumrah. Bahkan anak-anak Jalan Anu I pun belum tentu dapat menunjukkan Jalan Anu XVII C.
GPS era lama, sebagai “guided by penduduk setempat”, kini mulai tak berlaku. Pegawai Alfamart atau Indomaret di suatu wilayah pun belum tentu paham alamat dalam kawasannya. Padahal di minimarket orang berharap mendapatkan paduan.
Saya sulit membayangkan bagaimana dahulu tanpa Google Maps umumnya orang bisa mencari alamat di Jalan Kebonkacang, Jakpus. Di sana setidaknya ada 45 jalan bernama sama, karena dalam Google Maps ada Jalan Kebonkacang XLV.
Kalau saya dulu, abad lalu, dari kantor saya memfokopi buku peta Jabodetabek Gunther W. Holtorf atau melihat peta dinding karya beliau. Setelah itu baru berangkat. Pernah saya punya buku peta itu tapi raib. Begitu pun buku peta milik kantor. Banyak orang butuh peta tapi malas membeli.
Juga sebelum era Google Maps, saya dan istri pernah dapat mencapai rumah seorang kawan di sebuah perumahan, di Tangsel, Banten, dengan menyewa ojek agar dia di depan, lalu taksi yang kami tumpangi pun mengikutinya.
Orang Jakarta sebelum era Google Maps sangat terbantu peta Holtorf. Dahulu, abad lalu, di sebuah kantor agen properti global di Jalan Sudirman, Jaksel, saya melihat sekian lembar halaman buku peta β bukan peta dinding β ditempel pada dinding. Mosaik itu setinggi kepala pria dewasa, bagian bawahnya setinggi paha. Lebarnya kira-kira satu meter.
Entah berapa buku yang sudah dilepas halamannya karena setiap halaman berisi cetakan bolak-balik.
Kini peta Pak Jerman itu tinggal kenangan (Β¬ Tirto)
2 Comments
Mungkin karena gaptek, saya tidak mengandalkan Google Maps atau “serlok”. Lebih suka tanya ancar-ancar dekat dengan apa, penanda mencolok apa, dst.
Dahulu kala pernah menugasi seorang reporter meliput ke suatu tempat, alamat jelas (misal SD negeri 1001 di Jalan Pelan-pelan nomor 10), reporter mengandalkan Google Maps tanpa mau tanya tanya ke warga setempat, nyari bolak balik nggak ketemu. Saat lapor ke saya, saya bilang tanyalah warga, langsung ketemu.π
Malu bertanya keblusuk kalèn itu benar. Dulu seperti umumnya orang lapangan, karena belum ada Google Maps saya juga guided by penduduk setempat.
Di Semarang, setelah ada Google Maps, kami sekeluarga malah bertemu kali yang jembatannya tak cukup untuk mobil. Padahal warung yang kami cari sudah dekat. π