Kata-kata pelipur kemasygulan yang paling merdu adalah, “Masyarakat sudah cerdas, bisa tahu dan membedakan.”
Jadi, kalau ada orang meragukan kecerdasan masyarakat dalam mencerna konten media berita daring berarti dia kurang jauh bertandangnya, sebelum dini hari pulangnya.
Masa sih segala sesuatu harus dijelaskan secara verbal melalui teks?
Kok kayak produsen mi instan, atau kopi susu sasetan, sudah tahu bahwa konsumen paham cara mengolahnya masih saja ada petunjuk pakai atau saran penyajian. Bahwa ada panduan dalam bahasa Indonesia, itu karena regulasi.
Bagaimana kalau menyangkut native ads atau iklan yang dikemas mirip konten setiap media, yang dijalankan secara programatik?
Ada media yang terilhami produsen mi instan maupun kopi saset, secara verbal menyatakan bahwa itu adalah konten berbayar, bukan terbikin daripada redaksi. Misalnya Tribunnews. Ada disklaimer atau penyangkalan — ada yang menyebut penafian — perihal iklan.
Kalau media lain? Ya, macam-macam gayanya. Terus kepribèn kiyé? Dewan Pers (DP) lebih tahu. Pada 2015, DP menerbitkan seruan ulang 2002 ihwal advertorial. Sikap DP tentang native ads atau iklan serupa asali silakan Anda cari.
Akan tetapi ingatlah, masyarakat itu cerdas, bisa membedakan mana iklan dan mana konten redaksi. Apalagi mereka saban hari membaca berita.
3 Comments
Jadi, pener mana, antara Tribunnews.com yang meniru produsen mi instan/kopi saset, dengan cara Kompas ini, Paman?
https://blogombal.com/2022/04/26/sebutlah-iklan-sebagai-iklan/
Saudara Junianto bisa menyimpulkan sendiri dari paparan saya di lebih dari satu posting 🙊🙈