Akhirnya Tari Setip keluar dari perusahaan kecil komunikasi yang berkantor di sebuah rumah asri di Jaksel. “Udah sekian bulan gaji dicicil, akhirnya bos nggak bisa bayar. Angkat tangan. Tapi aku resign dikasih pesangon, ” katanya.
Lalu, “Begitu sembuh dari Omicron aku kerja keras, supaya pitching bisa nembus, nggak ada duit lembur, Oom. Gaji aja nggak dibayar. Tapi aku pengin ikut menyelamatkan perusahaan. Akhirnya aku nggak tahan. Nggak bisa bayar kos. Makan cuma Indomie, telur, atau nasi sama abon dan telur kalo lagi WFH. Jadi ya gitu deh, balik ke rumah ortu.”
Kamso menyimak semua cerita gadis itu. Tak ada keluhan berlebihan. Kadang disertai tawa kecil. “Ada tuh temanku yang tinggal di kantor, nggak bisa bayar kos.”
Kamsi juga menyimak. Tanpa banyak tanya apalagi menyela, tetapi menunjukkan perhatian dan empati. Bahkan ingin membantu sebisanya.
Tari juga bercerita, Mbak Dapur yang menyediakan makan siang di kantor akhirnya bertenggang rasa, memasak sesuai jumlah urunan yang terkumpul, “Tapi hasilnya melebihi harga.”
Kamso ingat pengalamannya di sebuah perusahaan kecil yang ditinggal juragannya, WNI keturunan Jawa di Singapura. Bahkan si juragan, sebagai investor, menganggap pengeluarannya sebagai piutang untuk para pengelola perusahaan rintisan yang berkantor di rumah dua lantai itu.
Di sana, orang-orang di level bawah bekerja keras karena melihat para karyawan dan petingginya berprihatin. Mereka mengistilahkan “para bos lagi puasa panjang”.
Mereka tahu anggaran ini itu dipangkas. Listrik harus dihemat. Biaya dapur juga diirit. Namun mereka, yang dalam istilah lama berlevel pesuruh, masih menerima gaji utuh karena tentu jauh lebih kecil dari direktur.
Kamso juga ingat, dulu saat krisis moneter 97-98, tunjangan dan aneka fasilitas jabatan para petinggi sebuah konglomerasi media disunat, tapi tidak untuk bawahan. Semua orang tahu diri.
Sense of crisis bisa ditularkan apabila bawahan melihat bukti, bukan cuma mendengar slogan.
¬ Gambar praolah: Shutterstock