“Kayaknya makin kerasa ya Mas, ada orang yang emang ingin belah masyarakat. Jadi kami versus mereka,” ujar Nancy Tinampi dalam ngeteh dan ngopi pagi di beranda samping rumahnya.
“Ya gitu, deh,” sahut Kamso sambil mencomot mastar.
Nancy tak puas, “Kok cuma gitu deh? Gimana sih Mas Kam ini?”
Lalu Nancy mengalirkan semua ganjalan. Runtut. Jelas. Dengan contoh-contoh nyata. Penutupnya, “Gimana menghentikan itu semua, Mas?”
“Susah, berat, tapi ya harus terus dicoba. Bagi pemainnya ada soal jangka pendek, ada soal jangka panjang, tapi yang pendek dan panjang belum tentu berhubungan.”
“Kok bisa?”
“Jangka pendek itu demi capaian politik bernama jabatan. Masyarakat mereka belah, hanya ada kami dan kalian. Setelah dia menang bukannya memulihkan luka tapi memanfaatkan keterbelahan. Selesai dia menjabat, tujuan sudah tercapai, ya udah.”
“Kaitan sama jangka panjang?”
“Kalo dia emang pemain jangka panjang, setelah menjabat ya terus merawat keterbelahan demi sebuah cita-cita kaumnya.”
“Payah!”
“Polarisasi bagi pemain jangka pendek maupun panjang bukan tujuan, cuma alat mencapai kemenangan. Tahap awal dengan agregasi, menghimpun orang yang punya satu persamaan cita-cita dan masalah padahal beda landasan. Kalo udah, diciptakanlah musuh bersama. Nah, yang terhimpun itu kemudian secara nyata dan tegas memosisikan diri sebagai lawan dari kaum yang mereka yakini pendukung musuh bersama. Itulah segregasi.”
“Apa sih ingin mereka dapat?”
“Kekuasaan. Menguasai semua hal termasuk aneka sumber daya demi kejayaan kelompoknya. Kadang mereka menyodorkan konsep hukum dan ekonomi yang utopis, melebihi ideal.”
“Sebelum jauh dan muluk-muluk, abstrak pula, apa dong manfaat segregasi?”
“Membagi masyarakat jadi dua. Supaya masing-masing akhirnya menganggap pihak lain sebagai musuh, kalau bisa dibinasakan supaya rute perjuangan lebih lempeng. Lebih mudah menggilas musuh yang jelas, atau mereka tempatkan sebagai musuh. Nggak perlu keraguan. Hidup harus simpel, hanya ada ya dan tidak, on dan off, satu dan nol.”
¬ Gambar praolah: Shutterstock