Saya tak tahu, dari seratus pembuat foto Lebaran kali ini berapakah yang menggunakan film. Kalau angka seratus masih sedikit, naikkan saja menjadi dua ratus atau malah lima ratus.
Baiklah, film memang dunia lama. Saya mendapatinya tadi pagi di sebuah kardus buku, bukan milik saya, saat saya menyapu untuk mengepel. Film ini sisa pemotretan lamaran calon mempelai, Maret lalu.
Harga film Kodak Gold ASA 200 berisi 36 bingkai — belum kedaluwarsa — saat ini sekitar Rp100.000. Jika membeli sepuluh rol butuh Rp1 juta. Belum lagi biaya proses dan cetak entah berapa sekarang.
Mahal? Murah? Tergantung preferensi dan selera. Hard copy hasil cetakan kamera digital maupun kamera analog, bagi orang seperti saya, sama saja.
Tetapi di kelas fotografi beneran, film masih dipakai. Orang diajari proses. Termasuk proses yang dulu disebut fotografi instan macam Polaroid dan Fujiflm Instax.
Di luar semua urusan itu ada satu hal yang baru saya sadari dari kemasan film ini: tak ada teks bahasa Indonesia. Apakah zaman kejayaan analog ada teks Indonesia? Saya lupa. Kayaknya sih nggak.
Cah wedhok dapet tugas fotografi analog di sekolahnya. Sekalian cari kamera di loakan. Nemu Olympus PEN pic.twitter.com/49YnzQHn3N
— Pinot (@pinotski) April 20, 2022
6 Comments
Terakhir pakai film itu di klub fotografi kampus 😅 nostalgik. Tapi masih ada sih fotografer profesional pakai kamera analog medium format untuk sentuhan keunikan tertentu…
Kalau analog yg masih dijual sekarang banyak yg poket plastik…..
Setelah kamera digital medium bisa resolusi tinggi, soal analog ini mungkin lbh ke art dan romanticism plus kepakaran 😇
Saya lupa berhenti pakai film tahun berapa, tapi ingat mulai rutin memakainya sejak jadi reporter di Solo 1993.
Seingat saya, selain merek Kodak atau Fuji, dahulu kala saya kadang juga pakai merek Hori yang harganya lebih murah. Betul ada merek Hori atau saya salah ingat, Paman?
Ya, Hori Color. Lbh hemat.
Ada pula Sakura Kyocera dan Agfa selain Fuji.
Afga, saya jadi ingat juga. Kalau yang Sakura saya lupa.