Sebutlah iklan sebagai iklan

Media sekelas Kompas seolah tak peduli pagar api. Iklan disamarkan sebagai berita.

▒ Lama baca < 1 menit

Advertorial BRI di Kompas tanpa penanda bahwa itu iklan

Dari sisi gaya bahasa, pembaca setia akan segera tahu itu bukan judul ihwal BRI dalam gaya koran Kompas. Namun tata letak memberi kesan itu konten dari redaksi, bukan dari bagian iklan. Tak semua orang hirau dan peka terhadap tipografi, karena sama-sama serif, sehingga bisa saja ada yang menduga advertorial atau artikel pariwara itu adalah berita Kompas. Tak ada tulisan iklan, artikel sponsor, advertorial, dan sebangsanya.

Belakangan Kompas tak mau menandai iklan berupa artikel. Cukup tanda asteris atau tanda bintang pada akhir tulisan, seperti yang diterapkan pada serial iklan Badan Intelijen Nasional pada halaman depan. Pernah sih Kompas mencantumkan kode “[INFO]” untuk konten BIN.

Pembaca diharapkan tahu sendiri dari nuansa tuturan bahwa itu iklan? Misalnya benar demikian, itu tidak elok. Media sekelas Kompas seolah tak peduli pagar api.

Kalau pagar api cuma sebatas dipahami secara harfiah, sebagainya garis pemisah konten editorial dan konten bayaran, dalam perkembangan desain grafis koran menurut saya sudah tak cocok. Paling tepat ya secara verbal, seperti cara Kompas abad lalu, ada kode semacam “IKL No. XXX.” Atau pakai “[INFO]” tadi.

Secara umum, bagian iklan di media apapun ingin menyenangkan klien. Mereka tahu, pengiklan saat berjualan secara lunak ingin tak tampak sebagai promosi.

Saya teringat Eri Fitra yang dalam kanal YouTube Deddy Corbuzier menyatakan, saat dia mereviu mobil tak beroleh bayaran dari APM supaya tetap objektif, bebas menyatakan kelebihan maupun kekurangan sebuah mobil.

Dulu, di sebuah majalah komputer, bagian bisnisnya berkeberatan dengan reviu produk yang menyertakan kelebihan dan kekurangan plus opini simpulan atau vonis (verdict), dengan alasan, “Client potensial nggak suka, makanya mereka nggak mau pasang iklan.” Bahkan bagian iklan pernah mengusulkan advertorial tanpa penanda supaya disangka konten editorial, dengan dalih, “Maunya client gitu.”

Ini soal klasik. Bagian bisnis versus redaksi. Orang bisnis di media punya adagium, “Jangan meniru cara media yang sudah kaya.” Mereka berlagak lupa, sebagian media makmur bertolak dari media miskin.

Ehm, berbahagialah orang kaya, eh media kaya, karena bisa dan boleh bersikap, termasuk dalam berbahasa.

Dalam bahasa warung kopi merangkap mi instan rebus, “Kalo elu miskin nggak usah belagu.”

Tapi Kompas Gramedia bukan perusahaan media yang miskin, bukan? Akan menyedihkan jika semua media, cetak maupun digital, menirunya.

Pagar api dan iklan terselubung

Kenapa ya badan intelijen kok sering beriklan

Sengkarut kegenitan bahasa jurnalistik Kompas dan Tempo

Media dan bahasa yang ramah pembaca

5 Comments

Zam Sabtu 30 April 2022 ~ 15.26 Reply

mungkin karena tidak ada aturan baku soal iklan ini dari dewan pers untuk memisahkan iklan dan bukan iklan?

Pemilik Blog Sabtu 30 April 2022 ~ 22.19 Reply

Ada aturannya kok Zam 🙏
Dua hari lalu Kompas memuat surat pembaca yang memprotes serial iklan BIN

junianto Selasa 26 April 2022 ~ 19.05 Reply

Koran sekelas Kompas kok gitu, ya, Paman?

Semoga konten Paman dibaca oleh orang-orang Kompas terutama di bagian atau divisi yang berhubungan dengan isi konten ini.

Pemilik Blog Selasa 26 April 2022 ~ 20.51 Reply

Sikon media lama kian berat. Lama dalam arti usia, apalagi mengalami masa jaya, tapi punya edisi kertas dan digital, nyatanya ongkos berita mahal,apalagi dengan foto bagus.

Ibarat kata, bikin band yang dipuji para kritikus musik, tapi pasar tak mau membeli.

Tinggalkan Balasan