Dan kau bertanya seperti dalam judul, “Sampean masih suka menikmati tanaman orang lain?”
Aku hanya tertawa, karena kalau disebut menikmati apalagi mengamati itu kurang tepat. Yang aku lakukan adalah memotret secara impulsif tanaman orang yang menarik. Tanaman yang di luar pagar.
Barusan aku memotret daun sirih yang menerobos keluar dari roster tembok pagar tetangga depan. Aku menyadarinya dua pekan lalu, sebelumnya seingatku tanaman itu tak sampai keluar. Artinya aku bukan seorang observer.
Tadi entah kenapa aku mendadak tertarik memotretnya dari dekat got di depan tembok itu. Padahal sekian lama aku abaikan.
Sambil menjepret, pikiranku ke mana-mana. Tampaknya ini bukan sirih yang untuk obat. Aku pernah mimisan di Rumah Langsat, dan asisten kantor bisa mendapatkan sirih di pasar.
Kini masih banyakkah orang menanam sirih obat? Aku teringat salah seorang budeku di Salatiga, dia dulu menanam sirih sendiri untuk menginang. Sirih itu menjalar sepanjang tiga meter pada tembok pagar setinggi tiga meter.
Oh aku teringat, saat masih kuliah aku mengatasi mata belekan dengan merimbang pakai rebusan daun sirih, memakai gelas cuci mata. Mujarab juga. Agar tak menulari dua balita, aku mengisolasi diri di kebun depan jendela dapur, berbaring di atas hammock.
Memotreti tanaman orang dan membiarkan lamunan ke mana-mana, lalu menuliskannya, itu membantuku merawat kesadaran dan ingatan.
Dari luar pagar bersirih juga ada kemboja merah. Aku takkan menceritakan ulang. Satu saja yang aku ungkapkan: foto itu aku temukan di ponsel, hasil jepretan pekan lalu.
4 Comments
kalo saya menikmati saja tanaman yang ditanam oleh dinas pertamanan, paman..
Bagooosss. 👍🍎😇
Saya juga jadi ingat bude, satu-satunya bude, satu-satunya saudara kandung papi. (Meski tinggal di kampung, dahulu kala kami — saya, kakak-kakak dan adik-adik — memanggil ortu dengan panggilan papi dan mami).
Bude, yang rumahnya tak jauh dari rumah ortu saya, juga menginang, tapi bahannya beli.
BYW mungkin bude kita generasi terakhirku penginang ya 😇