Mungkin saya yang berlebihan, gampang mengkhawatirkan hal tertentu. Misalnya tadi malam, sekitar setengah delapan, saat memotret got saya melihat anak perempuan, mungkin sekitar sepuluh tahun usianya, bersepeda sendirian. Saya tak tahu apakah jalan menuju ke rumahnya, entah di mana, ramai terus. Bagaimana jika dia melewati jalan gelap dan sepi?
Jangankan senja apalagi malam, siang sepi pun kadang saya mengkhawatirkan anak kecil bersepeda sendirian. Saya khawatir ada penjahat yang merampas sepeda apalagi disertai kekerasan. Sepeda hilang bisa cari pengganti di toko. Tetapi trauma kejiwaan anak?
Tiga pekan lalu di tempat gelap saya bersua anak laki kecil pakai baju koko dan kopiah putih bersepeda sendirian. Biasanya anak pulang dari belajar mengaji. Baru mau saya ingatkan untuk berhati-hati, dan terucap “Adik…”, sudah muncul seorang perempuan bersepeda memboncengkan anak perempuan kecil. Saya lega. Mungkin itu ibunya.
Di sebelah rumah saya ada tempat belajar mengaji. Saya lega jika anak-anak kecil itu pulang malam tak ada yang sendirian. Saya mengandaikan lebih aman.
Saya merasa keamanan sekarang tak seperti waktu saya kecil dulu. Anak perempuan, pun anak laki, berisiko terhadap kejahatan seksual — bukan hanya kejahatan biasa. Pelecehan terhadap anak perempuan tak hanya berpeluang menimpa yang berbaju biasa, karena yang berjilbab pun berpeluang menjadi korban.
Saya ingat pengalaman likuran tahun silam, suatu siang di sebuah desa Jateng, di pinggir jalan raya, saat saya menunggu angkot di bawah pohon dekat pasar yang menjadi tempat praktik tukang tambal ban.
Selesai mengisi angin ban sepeda milik seorang anak perempuan berusia sekitar sepuluh tahun, si tukang ban bilang kepada saya, “Bocah kok ayu temen, yèn aku isih enom tak coba…” Anak itu kok cantik banget, kalau saya masih muda, akan saya coba…
Saya jijik dan kesal kepada kakek itu, “Mboten élok, Mbah. Saru niku.” Tak elok Mbah, cabul itu.
Si kakek hanya tertawa. Isuzu Elf datang. Saya kembali ke hotel di kota. Dalam perjalanan saya berharap anak perempuan itu hingga dewasa tak mengalami apa-apa. Predator ada di mana-mana. Kalau mengamati komunikasi si anak dan si kakek, saya menyimpulkan mereka saling kenal dengan baik karena hidup di lingkungan pertetanggaan yang sama.
4 Comments
selama di Berlin, saya kok sepertinya jarang ketemu (atau malah tidak pernah) melihat anak sendirian.. kalo pun ada, biasanya ada orang tuanya yang mengawasi..
di negeri yang “aman” seperti ini saja, kewaspadaannya tinggi, di sebuah negeri sana malah santuy..
Nah, penting ini 🙏🍎
Tentang anak-anak bersepeda, laki-laki maupun perempuan, kalau saya ketemu mereka, baik siang maupun malam, saya ingatkan untuk berhati-hati terhadap penjahat perampas sepeda. Sama seperti sikap Paman. Apalagi kalau sepeda yang dinaiki bagus, saya ingatkan lebih keras.
Hanya, sebelum ini pikiran saya ke penjahat perampas barang, bukan penjahat seksual. Sekarang pikiran saya termasuk ke penjahat seksual seperti disinggung Paman di atas.
Mereka semua mengerikan 😢