Penjual produk padu padan, misalnya toko gorden, vitrase, dan kerai, lebih suka pertanyaan yang dimulai dengan angka rupiah. Misalnya, “Dengan duit Rp90 juta, termasuk PPN, untuk rumah dengan sebelas ruang, situ bisa kasih apa?”
Setelah tahu jumlah jendela (ada 22) , posisi, dan ukuran, juragan bisa kasih ancar-ancar spesifikasi dan ongkos pasang. Biaya minum tukang tak usah dipikir.
Bandingkan dengan, “Buat rumah dua lantai, 22 jendela, berapa biaya gorden rangkap sama kerai?”
Soal anggaran Rp48,7 miliar untuk penggantian gorden bagi 505 unit rumah dinas anggota DPR jadi ramai. Ilustrasi asumtif di atas ngaco, karena belum menghitung biaya konsultan interior.
Anggaran negara memang rumit. Bagi awam mungkin muncul tanya: bisa nggak sih dibikin bergelombang, setahun satu tahap, tidak sekaligus, supaya rusaknya tidak kompak?
Kalau rentang gelombang lebih dari lima tahun, komposisi anggota BURT berikutnya bisa berbeda tergantung kursi partai, kalau orang Setjen sih mungkin tetap.
Ketimbang bingung karena menuruti pikiran awam, lebih baik cari rujukan ke negeri lain yang anggota parlemennya dapat rumah dinas, dan fasilitas lain, lalu dibandingkan dengan pendapatan per kapita. Eh, ini juga pikiran awam. Kalau dibandingkan gaji setahun anggota parlemen bagaimana? Uh, cara awam lagi.
Embuh ora weruh. Mberuh. Sakkarepmu. Suka-suka ndoro tuan, kacung mau apa?
¬ Gambar praolah: Shutterstock
https://blogombal.com/2018/04/07/majalah-untuk-siapa-ya/
4 Comments
menjelang puasa, mungkin mereka pasang gorden untuk nutup rumahnya biar orang tahan puasa dan ga pengen berkelakuan seperti mereka..
Emang di rumah ngapain? Makan minum terus di luar jam buka? 🙈
Hambok dimaklumi to, Paman. Mereka kan orang-orang terhormat, layak dapat gorden dll yang mahal….
Yeah. Sudah dianggarkan sebelum ada kelangkaan minyak sawit. Ada yang usul gorden cukup Rp10 juta. Untuk rumah segitu bisa, tapi buat blinds abal-abal di bawah Toso, tanpa gorden dan vitrase. Cukup sih untuk lima tahun, satu periode jabatan 🤣