↻ Lama baca < 1 menit ↬

Chandra Baru, Jatirahayu, Pondokmelati, Bekasi

Di lingkungan saya, dalam radius satu kilometer setahu saya cuma tinggal satu antena radio komunikasi. Saya tak tahu itu untuk ORARI, RAPI, atau apa karena bukan mainan saya. Salah satu yang dulu masih ada seingat saya memasang papan nama call sign yankee apa gitu tapi bukan delta, mungkin bravo atau charlie.

Radio yang saya pahami cuma radio receiver yang disebut radio transistor yang ada di mobil. Kalau di rumah saya pakai radio internet di ponsel dan tablet — dulu sempat pakai tuner khusus Cambridge Audio. Radio satelit berbayar Worldspace pernah saya pakai di kantor, awal 2000-an, tetapi ketika kantor pindah ke Gedung Perintis, Kota, Jakarta, antena saya di atap jadi melempem karena ada antena Radio Sonora.

Tentang ORARI yang saya ingat sampai sekarang adalah dulu, ketika jaringan telepon belum meluas, anggota organisasi itu menjadi penerus berita lelayu dengan informasi jelas, padahal auditif, mungkin karena dengan morse dan pengejaan huruf dengan kata. Orang yang meninggal dan keluarga duka tidak harus anggota ORARI. Mulia sekali, kabar sampai ke alamat tujuan, misalnya anak almarhum, lebih lekas daripada telegram.

Kalau radio CB atau RAPI saya tak bermain. Kesannya dulu mainan orang makmur. Di Jogja, mobil anggotanya berstiker besar Alpha Bravo.

Interkom berkabel antarrumah dan antatkampung? Saya tak berminat. Mungkin itu media sosial generasi awal. Keanggotaannya tanpa ujian seperti ORARI.

Dari dunia radio komunikasi itulah muncul istilah “copy darat”, atau kopdar, yang dulu diadopsi kalangan blogger.